Jumat, 13 April 2012

RINTISAN AWAL MENATA KALBAR DENGAN KONSEP OTONOMI

KONPERENSI MALINO 16—25 JULI 1946

RINTISAN AWAL MENATA KALBAR DENGAN KONSEP OTONOMI

Catatan Dokumenter Din Osman

Setelah gagalnya konperensi Hoge Veluwe di Negeri Belanda, van Mook berusaha untuk menarik perhatian Pemerintah Belanda agar mulai diambil tindakan-tindakan untuk melaksanakan suatu perubahan ketatanegaraan di luar daerah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang telah mulai didduduki oleh Tentara Australia atas nama Sekutu.

Wilayah di bagian timur Indonesia yang dikenal dengan nama Timur Besar, dan kemudian berubah menjadi Indonesia Timur dan Borneo, kecuali Bali, diduduki oleh Tentara Australia yang bermarkas besar di Morotai, yang terutama ditugaskan oleh pimpinan Angkatan Perang Sekutu untuk melucuti pasukan-pasukan Jepang dan memberangkatkan pasukan-pasukan tersebut ke tanah airnya, dan sekaligus untuk membebaskan tawanan perang dan interniran di wilayah tersebut.

Nampaknya kebijaksanaan yang diperlihatkan oleh Tentara Australia di Timur Besar dan Borneo maupun oleh Tentara Inggris di Bali berbeda dengan yang dijalankan oleh Tentara Inggris yang menduduki Jawa di bawah Panglima Letnan Jenderal Christison.

Walaupun Tentara Australia dalam soal keamanan khususnya bertanggungjawab mengenai soal politik dan pemerintahan di wilayah-wilayah yang telah didududki oleh Tentara Australia, pada hakekatnya dan realitasnya yang berkuasa di sana secara de facto ialah petugas pihak Belanda yang menamakan dirinya NICA.

Ini berarti bahwa semenjak daerah-daerah di Indonesia Timur dibebaskan dari pendudukan Jepang oleh Tentara Australia, Pemerintah Belanda sudah dapat menanamkan pengaruhnya di wilayah itu dengan penempatan-penempatan corps NICA yang ditugaskan oleh panglima tentara Australia menjalankan tugas pemerintahan sipil di bawah tanggung jawab Tentara Australia.

Dengan kesempatan yang diberikan oleh Panglima Tentara Australia, Pemerintah Belanda berhasil di dalam waktu yang singkat sesudah berakhirnya Perang Pasifik mengembalikan lagi berfungsinya aparat pemerintahannya yang terkenal sebagai Corps Binnenlands Bestuur [BB] di wilayah Indonesia Timur dan Borneo, sekalipun dengan nama lain yaitu Chief CO-NICA atau CO-NICA dan NICA.

Bagi Pemerintah Belanda waktunya sangat tepat untuk mengambil suatu prakarsa politik setelah kegagalannya mendapatkan suatu permupakatan dengan pihak Pemerintah Republik Indonesia setelah gagalnya perundingan di Hoge Veluwe [Negeri Belanda] pada akhir Maret 1946. Oleh karena itu van Mook menjajagi kemungkinan untuk mengadakan perundingan-perundingan dengan pemimpin rakyat dan pemuka-pemuka aliran masyarakat di Indonesia Timur dengan tujuan untuk menyusun suatu bentuk tatanegara baru dalam rangka dan atas garis politik Pemerintah Belanda sebagai diumumkan oleh Pemerintah Belanda dalam pernyataannya pada 10 Februari 1946.

Pernyataan Pemerintah Belanda 10 Februari 1946 antara lain berbunyi sebagai berikut:

  1. Akan diadakan suatu gemenebest [commonwealth] Indonesia, Sekutu dalam Kerajaan, yang tersusun dari negeri-negeri yang mempunyai gak memerintah sendiri [self government] dengan tingkat masing-masing
  2. Akan diadakan kewarganegaraan Indonesia buat semua orang yang dilahirkan di Indonesia. Warganegara Belanda dan warganegara Indonesia akan berhak melakukan semua hak-hak kewarganegaraan dalam semua bagian Kerajaan
  3. Soal-soal dalam negeri gemenebest Indonesia akan diurus dengan merdekan oleh badan-badan Indonesia sendiri. Buat gemenebest seanteronya maka diciptakan suatu badan perwakilan rakyat, disusun secara demokratis dan oleh karena itu sebagian besar anggotanya terdiri dari warga Indonesia asli, suatu badan kemeneterian yang disusun dengan haluan politiknya selaras dengan badan perwakilan rakyat dan seorang Wakil Mahkota sebagai Kepala Pemerintahan
  4. Anggaran dasar negara yang menetapkan bentuk tersebut di muka akan menjamin segala hak-hak asasi, seperti kemerdekaan beragama, persamaan kedudukan dengan tidak memandang agama atau bangsa, perlindungan keselamatan hak-hak seseorang dan barang-barangnya, kemerdekaan kehakiman [dari pengaruh pemerintah atau lain-lainnya], perlindungan hak-hak golongan kecil [minoritas], kemerdekaan pendidikan, kemerdekaan pikiran dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat
  5. Agar supaya Wakil Mahkota dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan atas Kerajaan oleh Pasal 37 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka akan diberikan kepada beliau, dengan bertanggungjawab kepada Pemerintah Belanda, beberapa kekuasaan yang istimewa guna menjamin hak-hak asasi tersebut, pemerintahan yang baik dan keuangan yang sehat. Beliau tidak bleh memakai kekuasaan ini kecuali jika hak-hak dan kepentingan-kepentingan tersebut dilanggar
  6. Badan-badan pusat yang menjalankan pekerjaan untuk Kerajaan seanteronya akan disusun dari wakil-wakil dari segala bagian Kerajaan. Yang dicita-citakan suatu badan kementerian buat Kerajaan, dan juga undang undang sekerajaan yang wajib disetujui oleh badan perwakilan rakyat dari segala bagian Kerajaan itu
  7. Sesudah bentuk tersebut di atas mulai berlaku, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan supaya gemenebest Indonesia selekas mungkin diterima menjadi anggota Badan Perserikatan Bangsa-bangsa

Den Haag/Batavia, 10 Februari 1946

April 1946 van Mook mulai mencurahkan perhatiannya untuk mengambil prakarsa politik di Indonesia Timur sebagai suatu tindakan lanjutan akibat kegagalan politik Pemerintah Belanda untuk mendapatkan suatu persesuaian paham dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam memperoleh penyelesaian masalah Indonesia.

Dibantu oleh Dr W Hoven [Direktur Pemerintahan Dalam Negeri] ia mulai mendekati pemuka-pemuka politik dan aliran-aliran masyarakat, demikian juga pejabat Pemerintahan di Indonesia Timur untuk minta bantuan mereka turut serta dalam suatu muktamar besar untuk membicarakan konstelasi dan susunan pemerintahan dalam rangka susunan ketatanegaraan baru di Indonesia. Dalam muktamar tersebut akan diikutsertakan juga wakil-wakil dari Kalimantan, di wilayah tersebut pihak Belanda telah berhasil menguasai perkembangan politik dan keamanan. Dalam penjajagan permulaan itu yang paling penting ialah penunjukkan wakil-wakil yang akan turutserta dalam muktamar tersebut. Di wilayah-wilayah dan daerah-daerah di mana sudah terbentuk dewan-dewan perwakilan rakyat, hal ini tentunya tidak begitu banyak menimbulkan kesulitan, oleh karena wakil-wakil tersebut dapat ditunjuk oleh dewan perwakilan yang bersangkutan.

Di lain-lain daerah di mana susunan ketatanegaraan belum diatur, dewan-dewan yang dimaksudkan itu belum tersusun. Dalam keadaan yang demikian ditugaskan kepada pejabat-pejabat NICA untuk mengadakan pertemuan-pertemuan dengan wakil-wakil rakyat, pemimpin-pemimpin aliran masyarakat dan kepala pemerintahan atau kepala adat himpunan masyarakat adat untuk menunjuk wakil-wakil mereka yang akan mewakili daerah mereka pada muktamar yang direncanakan itu.

Maka setelah pembicaraan-pembicaraan tersebut menjadi matang, maka ditetapkan oleh van Mook suatu tempat di pegunungan Lompobatang di Sulawesi Selatan yang terletak kurang lebih 70 km dari Kota Makassar sebagai tempat muktamar besar tersebut akan dilangsungkan. Tempat ini bernama Malino, di daerah Bugis yang berarti tempat yang damai, suatu tempat peristirahatan yang dulu 1932 dibangun oleh J Caron yang di zaman kolonial Belanda menjabat Gubernur Sulawesi. van Mook memilih tempat tersebut sebagai kedudukan muktamar yang direncanakan itu untuk menunjukkan pentingnya arti kedudukan Sulawesi Selatan dalam hubungan wilayah Timur Besar [Indonesia Timur] dengan Kalimantan dilihat dari sudut politis, ekonomis dan geografis.

Di samping itu van Mook ingin memperlihatkan kepada umum bahwa Pemerintah belanda telah menguasai politik dan keamanan di Sulawesi Selatan dan tidak sebagai digembar-gemborkan oleh beberapa kalangan bahwa kekacauan politik masih merajalela di wilayah tersebut. Maka diputuskan untuk melangsungkan muktamar wakil-wakil daerah di seluruh wilayah Timur Besar [Indonesia Timur], Kalimantan, Bangka, Riau dan Belitung di Malino, yang dalam sejarah terkenal sebagai Konperensi Malino.

Direncanakan bahwa konperensi ini akan dimulai di Malino pada 16 Juli 1946 dengan didahului suatu upacara di Makassar sehari sebelumnya, 15 Juli 1946, di mana kekuasaan dan wewenang Tentara Sekutu di seluruh wilayah Indonesia timur dan Kalimantan akan berakhir dan mulai saat itu semua kekuasaan di bidang keamanan dan ketertiban umum serta pemerintahan menjadi tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah Hindia Belanda. Ini berarti bahwa NICA di wilayah Indonesia Tumur [kecuali Bali] dan Kalimantan, dan demikian juga AMACAB di Bali dan Lombok, akan dihapuskan dan opsir-opsir NICA dan AMACAB akan menjelma lagi menjadi pegawai-pegawai pamong praja Belanda [korps Binnenlands Bestuur] dengan pangkat seperti dulu yaitu residen, asisten residen dan kontrolir.

Untuk menghadiri Konperensi Malino itu Dr HJ van Mook tiba di Makasar 14 Juli 1946, esok harinya pada 15 Juli diadakan suatu upacara besar bertempat di lapangan Karobosi Makasar di mana dilangsungkan timbang terima tanggungjawab pemerintahan dan keamanan dari Tentara Sekutu untuk seluruh wilayah Timur Besar [Indonesia Timur] dan Kalimantan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Dr HJ van Mook.

Mulai saat itu oleh Panglima Tertinggi Tentara Sekutu yang terdiri dari pasukan Australia dan Inggris tanggungjawab pemerintahan di seluruh wilayah kekuasaan [jurisdiksi] Tentara Sekutu di Indonesia Timur dan Kalimantan diserahkan kepada Letnan Gubernur Jenderal van Mook. Ini berarti bahwa mulai saat itu Tentara Sekutu ditarik dari wilayah tersebut dan diganti oleh pasukan Belanda yang terdiri atas tentara Kerajaan Belanda dan polisi yang bertanggungjawab atas keamanan, kesatuan-kesatuan NICA yang dulu menjalankan pemerintahan sipil di bawah tanggungjawab Tentara Sekutu [pasukan Australia atau Inggris] diganti oleh pamong praja Belanda [korps Binnenlands Bestuur]. Mengenai yang terakhir ini sebenarnya tidak ada perubahan dalam personalianya oleh karena NICA dijalankan oleh petugas-petugas Belanda dari korps Binnenlands Bestuur.

CONICA yang bertugas di ibukota keresidenan diberi tugas dan wewenang seorang residen, sedangkan opsir CONICA yang bertugas di ibukota suatu bagian daerah [afdeling] dijadikan asisten residen dan mereka yang beroperasi sebagai opsir NICA di ibukota suatu sub bagian daerah [onderafdeling] bertugas kembali sebagai Kontrolir Binnenlands Bestuur. Tentara Belanda yang menggantikan pasukan Australia atau Inggris di wilayah tersebut ditempatkan di bawah komando seorang kolonel yang diberi jabatan sebagai Komandan Teritorial Tentara Belanda di Timur Besar dan Kalimantan. Untuk jabatan ini diangkat Kolonel HJ de Vries, seorang opsir menengah bekas KNIL [Tentara Kerajaan Hindia Belanda]. Seusai upacara penyerahan kekuasaan pemerintahan tersebut van Mook mengumumkan keputusannya untuk menghapuskan keadaan darurat perang di wilayah Timur Besar [kecuali daerah Bali] dan Kalimantan.

Menjelang penyerahan kekuasaan pemerintahan ini dari Tentara Sekutu kepada Pemerintah Belanda, van Mook memikirkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya harus diadakan pembaharuan susunan tata pemerintahan dan ketatanegaraan sesuai dengan perkembangan politik pada masa itu. Di samping itu dalam konperensi yang akan diadakan itu soal tersebut tentunya akan menjadi pokok pembicaraan penting. Berdasarkan atas pemikiran ini van Mook merancang untuk membentuk suatu komisariat pemerintahan umum yang akan diberi tugas untuk memikirkan dan memberikan saran-saran dalam bidang susunan pemerintahan dan ketatanegaraan sebagai dimaksudkan tadi.

Pada 8 Juli 1946 oleh van Mook ditandatangani di Jakarta suatu Surat Keputusan Nomor 4 Tentang Pembentukan Suatu Komisariat Pemerintahan Umum untuk Timur Besar [Indonesia Timur] dan Kalimantan yang mempunyai daerah wewenang [jurisdiksi] atas wilayah Timur Besar, Kalimantan dan Keresidenan Bangka, Riau, dan Belitung.

Tugas badan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Mempelajari dan mempersiapkan pembangunan ketatanegaraan di Kalimantan dan Timur Besar [Indonesia Timur]
  2. Membantu Gubernur Jenderal dalam pelaksanaan wewenang pemerintahan di wilayah Kalimantan dan Timur Besar [Indonesia Timur] sesuai dengan peraturan-peraturan dan petunjuk yang diberikan kepadanya
  3. Menjalankan wewenang Gubernur untuk wilayah Kalimantan dan Timur Besar [Indonesia Timur], di dalamnya termasuk juga untuk melimpahkan beberapa wewenang Gubernur kepada Residen-residen di wilayah tersebut

Dalam surat keputusan ini ditetapkan juga bahwa tempat kedudukan Komisaris Pemerintah Umum akan ditentukan oleh Gubernur Jenderal, dan apabila tempat ini diputuskan di Jakarta, maka Direktur Departemen Pemerintahan Dalam Negeri [Directeur Binnenlands Bestuur] akan diangkat sebagai Komisaris Pemerintahan Umum. Oleh karena pada waktu itu Dr W Hoven menjabat Pejabat Direktur Departemen Pemerintahan Dalam Negeri, maka dia diangkat menjadi Komisaris Pemerintahan Umum untu Kalimanta dan Timur Besar [Indonesia Timur]. Pada 15 Juli 1946 semua peserta Konperensi Malino sudah hadir. Mereka diberi penginapan di bungalo-bungalo yang tersebar di daerah peristirahatan Malino, sedangkan ruang rapat disediakan di suatu gereja Katolik milik misi di sana.

van Mook disertai oleh staf yang besar, terdiri dari pembantu-pembantu utamanya disamping staf sekretariat dan teknis yang akan bertugas menyelenggarakan konperensi itu. Kecuali Dr W Hoven dan Wakil Komisaris Pemerintahan Umum CJHR de Waal, yang turut menyertai van Mook adalah Sekretaris Pemerintah Pertama Dr EO Baron van Boetzelaer, anggota kabinet dan penasehat-penasehatnya seperti Dr PJ Koets [Kepala Kabinet], Abdulkadir Widjojoatmodjo [Penasehat Umum], Mr KLJ Enthoven [Penasehat Umum], Thio Thiam Tjong [Penasehat] dan Jhr Mr CHW de Villeneuve [Penasehat]. Dari kalangan Departemen Urusan Ekonomi hadir direkturnya Mr J van Hoogstraten dengan pegawai tingginya HHA Crevels, dan dari kalangan Departemen Pekerjaan Umum hadir direkturnya Ir CW Werner, sedangkan dari kalangan Departemen Pendidikan hadir Pejabat Direktur D vd Meulen dengan beberapa orang inspektur. Jawatan Penerangan Pemerintah diwakili kepalanya Mr KFJ Verboeker dibantu oleh banyak staf dan petugas pers, film dan radio. Pers luar dan dalam negeri termasuk pers Republik Indonesia turut diundang untuk mengikuti jalannya konperensi dan membuat pemberitaan.

Wakil Daerah Kalimantan Barat: Sultan Hamid II, JC Oevaang Oeray, Thio Kiang Soen, dan Lauw [Penasehat].

Pada 16 Juli 1946 muktamar Malino dibuka dengan resmi oleh Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook dengan suatu kata pembukaan yang panjang lebar. Konperensi tidak mempunyai suatu acara kerja [agenda] yang berisi materi-materi yang akan dibicarakan dalam muktamar tersebut. Hanya diadakan suatu jadwal kerja yang mencakup acara-acara yang akan diselesaikan oleh muktamar tiap hari.

Intisari Kata Pembukaan dan Pengantar Dr HJ van Mook antara lain menyarankan untuk menganut sistem federal dalam susunan ketatanegaraan akan tetapi dengan suatu syarat bahwa bagian-bagian yang akan merupakan komponen-komponen dari federasi ini haruslah merupakan wilayah-wilayah yang luas dan mempunyai potensi ekonomi, sosial dan politik yang cukup mantap. Hanya bagian dari suatu federasi yang demikian akan mempunyai cukup kekuatan hidup [levensvatbaarheid] untuk menunjang federasi itu menjadi suatu kesatuan yang kuat.

Pendirian van Mook untuk mewujudkan negara-negara bagian yang besar sebagai bagian dari suatu negara yang berbentuk federasi untuk menjamin berhasilnya negara bagian itu menjalankan suatu wewenang pemerintahan yang luas, kemudian diingkari oleh van Mook sendiri. Sesudah terjadinya aksi militer Belanda pertama terhadap Republik Indonesia Juli 1947, di daerah kekuasaan Republik Indonesia yang diduduki oleh tentara Belanda sesudah aksi militer tersebut van Mook mendirikan negara-negara dan daerah-daerah federal yang kecil dan sebenarnya tidak mempunyai potensi hidup.

Negara-negara kecil itu tidak seimbang luas wilayah dan potensi hidupnya dan didirikannya hanya berdasarkan suatu pemikiran politis untuk mengucilkan Republik Indonesia. Konperensi Malino tidak mendapat sambutan yang baik di kalangan Republik Indonesia. Media massa Republik Indonesia sangat mencela prakarsa Belanda untuk mengadakan Konperensi Malino itu dan dianggap sebagai suatu usaha pihak Belanda untuk mendapatkan dukungan dari wakil-wakil daerah di luar daerah kekuasaan Republik Indonesia bagi konsepsi Belanda mengenai pemecahan masalah Indonesia.

Wakil Presiden Republik Indonesia Drs Mohammad Hatta dalam suatu wawancara dengan Radio Yogyakarta 17 Juli 1946, menerangkan bahwa Konperensi Malino diadakan atas paksaan di atas ujung sangkur oleh Pemerintah Belanda dan peserta-pesertanya ditunjuk oleh van Mook. Keterangan Hatta menimbulkan banyak reaksi di kalangan peserta Konperensi Malino, dan perasaan kurang enak yang kemudian menyebabkan beberapa orang anggota konperensi itu memajukan suatu mosi di mana dinyatakan bahwa pernyataan Hatta itu dianggap melukai hati para peserta konperensi dan menyimpang dari kebenaran, ditandatangani oleh Sonda Daeng Mattajang [Sulawesi Selatan], Tjokorde Gde Rake Soekowati [Bali], Sultan Hamid II [Kalimantan Barat] dan Dengah [Minahasa]. Di samping itu dalam pidato jawaban van Mook terhadap pemandangan umum para peserta, van Mook menyanggah keterangan Hatta tersebut dengan ucapan-ucapan yang sangat sinis.

Setelah kata pengarahan van Mook pada awal konperensi ini kepada para peserta diberi kesempatan untuk mengadakan pemandangan umum dan membahas isi pidato yang diucapkan oleh van Mook itu. Pemandangan umum itu berlangsung selama dua hari 17—18 Juli 1946. Semua wakil-wakil daerah turut serta dalam pemandangan umum ini. Dari mereka yang berbicara dapat dibagi di antara yang menyatakan simpatinya terhadap Reublik Indonesia dan menandaskan bahwa perkembangan di wilayah yang mereka wakili tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Pendapat yang demikian dinyatakan wakil-wakil dari Maluku Utara, Gorontalo, Kalimantan Timur dan Selatan.

Banyak wakil-wakil daerah berpendapat bahwa sekalipun pemecahan masalah Indonesia merupakan suatu persoalan yang integral yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, akan tetapi harus diakui bahwa perkembangan politik di wilayah Indonesia Timur [Timur Besar] dan Kalimantan memperlihatkan suatu aspek yang berbeda dari apa yang terjadi di Sumatera dan Jawa. Oleh karena itu di wilayah Timur Besar dan Kalimantan keamanan sudah pulih kembali dan pemerintahan sipil sudah dapat berjalan normal, maka sekarang sudah tiba saatnya pembangunan di segala bidang dilaksanakan demi untuk kesejahteraan rakyat.

Mengenai masalah bentuk tata pemerintahan dan susunan ketatanegaraan semua wakil-wakil daerah condong untuk mewujudkan sistem federal di mana Indonesia akan terbagi atas bagian-bagian yang besar untuk dapat diberikan tugas dan wewenang pemerintahan yang luas oleh pemerintah pusat. Mengenai persoalan hubungan Indonesia dan belanda pendirian para utusan daerah sangat berbeda. Sebagian mendukung Pernyataan Pemerintah 10 Februari 1946, di mana dikehendaki agar diadakan suatu masa peralihan yang cukup lama di mana Indonesia dan Belanda bersama-sama bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang akibat kerusakan-kerusakan yang diderita selama pendudukan Jepang. Sesudah masa peralihan ini Indonesia bebas dapat menentukan nasibnya sendiri dalam rangka meletakkan dasar-dasar hubungannya dengan negeri Belanda.

Di samping masalah politik dan ketatanegaraan, oleh para utusan daerah juga disinggung hal-hal di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan, terutama yang menyangkut daerahnya masing-masing. Pada 19 Juli 1946 Letnan Gubernur Jenderal Dr HJ van Mook memberi jawaban [repliek] atas pemandangan umum yang telah dimajukan para utusan. Dalam pidatonya itu van Mook terlebih dahulu menyatakan bahwa telah dibuktikan oleh pemandangan umum yang telah diucapkan oleh para wakil-wakil daerah bahwa para hadirin secara bebas dapat menyatakan pendapatnya masing-masing tanpa diliputi suatu ketakutan bahwa pidato mereka yang tidak sesuai dengan pendapat Pemerintah Hindia Belanda atau menentang pendirian ini akan berakibat buruk bagi mereka.

Dari pidato-pidato yang diucapkan oleh para utusan van Mook menyimpulkan bagian-bagian yang merupakan pendapat umum mayoritas wakil-wakil daerah itu semua utusan tidak menerima kembalinya kolonialisme di bumi Indonesia.

van Mook menegaskan bahwa ia sangat menyetujui bahwa wakil-wakil daerah dengan terus terang dan tandas mengutuk kolonialisme ini, oleh karena dengan ini mereka [di pihak Belanda] yang belum dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan politik sebagai dialami sekarang dapat diperingatkan lagi bahwa hubungan Indonesia dan Belanda sekarang haruslah didasarkan pada ideologi yang berbeda dengan dalam zaman kolonialis.

Semua utusan menyatakan pendapatnya bahwa hubungan Belanda dan Indonesia harus diteruskan. Orang dapat berbeda paham mengenai syarat-syarat atau asas-asas hubungan kerjasama itu, akan tetapi oleh pembicara-pembicara diyakini tentang perlunya adanya kerjasama itu untuk pembangunan dan perkembangan Indonesia di masa depan. Semua utusan berpendirian bahwa kesatuan Indonesia harus dipertahankan sebagai satu bangsa dan sebagai penjelmaan dari perpaduan satu dengan yang lain dijelmakan dalam suatu sistem federal, yaitu federasi Indonesia yang berbentuk Negara Indonesia Serikat

van Mook menyatakan bahwa para utusan telah menyatakan pendapatnya mengenai hal yang prinsipal dan penting ini dalam suasana yang bebas tanpa diliputi oleh ketakutan atau kecemasan bahwa pernyataannya itu dianggap sesuatu yang bertentangan dengan patriotisme Indonesia. van Mook menganggap pernyataan ini hal yang sangat penting, oleh karena dengan keputusan ini dapat diteruskan untuk menyusun suatu sistem tata pemerintahan untuk Indonesia di kemudian hari, di mana dengan diterimanya sistem federal ini akan dapat dihindarkan satu bagian akan dapat menguasai yang lain yang akan memungkinkan timbulnya perpecahan. Dalam hubungan ini van Mook juga menegaskan bahwa dari pembicara-pembicara itu dia dapat menyimpulkan apa yang dikehendaki oleh sebagian besar pembicara untuk mewujudkan dua negara bagian di wilayah ini, yang terdiri dari wilayah Timur Besar dan Kalimantan.

van Mook menjelaskan bahwa dengan menganjurkan diadakannya suatu masa peralihan bukanlah berarti bahwa Pemerintah Belanda akan menunda-nunda penyerahan kedaulatan kepada Indonesia dengan alasan bahwa Indonesia belum matang untuk muncul sebagai negara yang merdeka. Alasan Pemerintah Belanda dalam hal mengajukan masa peralihan tiada lain disebabkan oleh karena dalam keadaan sekarang, di mana pendudukan Jepang masih meninggalkan kekacauan dalam segala bidang, pembangunan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit oleh Indonesia sendiri tanpa bantuan dari luar akan sulit dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Pemerintah Belanda ingin mengulurkan tangannya untuk bersama-sama dengan Indonesia menyelesaikan pembangunan dalam segala bidang untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan masa peralihan di mana Belanda dan Indonesia akan bekerjasama untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan catatan bahwa dalam kerjasama itu pejabat-pejabat Indonesia akan mengambil tanggungjawab yang utama.

Lamanya masa peralihan itu ada yang menyebutkan lima tahun, ada juga yang menyatakan 10 tahun. Ada juga yang menyatakan bahwa sebaiknya kurun waktu masa peralihan itu ditetapkan kemudian oleh Konperensi Kerajaan [Rijksconferentie]. Demikianlah intisari pidato jawaban van Mook bertalian dengan pemandangan umum para wakil dan utusan daerah.

“... Konperensi Malino memutuskan dengan suara bulat dalam bidang pembangunan kembali ketatanegaraan di wilayah Hindia Belanda dulu pembentukan suatu federasi yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda dulu bernama Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari bagian-bagian [negara-negara] dengan daerah kekuasaan yang besar dan wewenang kekuasaan memerintah sendiri yang seluas mungkin. Dalam negara-negara itu akan diwujudkan desentralisasi pemerintahan dalam bentuk daerah-daerah otonomi sesuai dengan keinginan-keinginan kelompok-kelompok suku etnologis, dengan memperhatikan perkembangan kebudayaan dan ekonominya. Dalam menyusun wewenang otonomi daerah-daerah tersebut, baik yang tergolong daerah swapraja maupun yang lain, akan dipergunakan sebagai dasar otonomi swapraja ...”

“... Konperensi Malino berpendapat bahwa Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk itu akan terdiri dari Jawa, Sumatera, Timur Besar dan Kalimantan dengan suatu syarat bahwa mengingat keputusan-keputusan yang diambil di daerah-daerah yang bersangkutan dan mandat wakil-wakil daerah itu akan dirundingkan lagi hal-hal sebagai berikut: Pemasukan Sunda Kecil dalam wilayah kekuasaan Timur Besar atau pembagian Sunda Kecil menjadi bagian-bagian tersendiri federasi itu, dan, pemasukan Swapraja di Kalimantan Timur dalam Negara Kalimantan. Sambil menunggu pemasukan Daerah Bangka, Riau, dan Belitung ke dalam wilayah Sumatera, ketiga daerah ini akan disusun menjadi daerah-daerah otonomi dan mendesak agar diadakan tindakan untuk memajukan taraf perkembangan penghidupan rakyatnya...”

“... Konperensi Malino menganggap sangat perlu bahwa saran-saran dan usul-usul mengenai pembaharuan susunan ketatanegaraan di Kalimantan dan Timur Besar dimajukan kepada konperensi kedua dalam waktu yang singkat, yang akan dihadiri oleh wakil-wakil rakyat dari segala golongan yang dipilih. Berpendapat bahwa konperensi tersebut di atas harus diadakan pada satu tempat untuk memudahkan para wakil rakyat untuk berkumpul guna merundingkan usul-usul yang dimajukan ...”

“... Konperensi Malino mengusulkan, sambil menunggu terwujudnya status Indonesia yang diharapkan akan dicapai dalam waktu yang singkat, untuk membentuk dengan segera suatu Badan Perwakilan Rakyat yang mempunyai wewenang legislatif dengan mempergunakan susunan keanggotaan Konperensi Malino ini sebagai dasar, dilengkapi dengan wakil-wakil golongan yang belum terwakili dalam konperensi ini. Konperensi Malino dapat menyetujui ditunjuknya tujuh orang yang merupakan suatu badan dengan tugas untuk bersama-sama merundingkan dengan wakil-wakil Pemerintah Hindia Belanda, dalam hal ini Komisariat Pemerintahan Umum, hal-hal yang menyangkut pembaharuan susunan ketatanegaraan di Timur Besar, Kalimantan, Bangka, Riau dan Belitung. Sebagai anggota badan tersebut ditunjuk oleh konperensi tujuh orang, yaitu Tjokorde Gde Rake Soekawati [Bali], Nadjamoedin Daeng Malewa [Sulawesi Selatan], ED Dengah [Minahasa], Tahja [Maluku Selatan], Ibrahim Sedar [Kalimantan Selatan], Oeray Saleh [Kalimantan Barat] dan dr Liem Tjae Le [Bangka]...”

“... Konperensi Malino menyatakan sebagai keyakinannya bahwa harus ditetapkan secara teliti kurun waktu yang dianggap perlu untuk mengadakan kerjasama di lingkungan Kerajaan, yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Negara Indonesia Serikat untuk mewujudkan organisasi dalam bidang ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan kebudayaan, dan untuk memperoleh perlengkapan-perlengkapan yang akan memberi kemungkinan-kemungkinan kepada Negara Indonesia Serikat dengan segala kebebasan dan merdeka mengambil keputusan sendiri mengenai kelanjutan hubungan antara Belanda dan Indonesia. Beberapa anggota Konperensi Malino ini ingin menyatakan secara tegas, bahwa kesanggupannya untuk tetap berada dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat tergantung pada dipertahankannya hubungan dalam Kerajaan [Rijksverband]...”

“... Hubungan dengan Republik Indonesia, Konperensi Malino menyatakan keinginannya agar Timur Besar dan Kalimantan diwakili dalam perundingan dengan Sjahrir dan Pemerintah Hindia Belanda bila dikehendaki oleh kedua belah pihak. Memperhatikan keputusan Konperensi Malino agar struktur pemerintahan Indonesia berdasarkan sistem federal dan selanjutnya ditetapkan suatu masa peralihan sebelum Negara Indonesia Serikat yang merdeka diwujudkan, maka dianggap wajar untuk minta perhatian Sjahrir atas keputusan-keputusan tersebut, dan mengharapkan dalam waktu yang singkat dapat diadakan kerjasama demi kesejahteraan Indonesia Raya ...”

Demikianlah resolusi dan mosi dan pernyataan dalam bidang politik dan pemerintahan ketatanegaraan yang diambil dalam sidang pleno Konperensi Malino pada 24 Juli 1946 setelah digodok dan disiapkan dalam rapat-rapat panitia kerja. Setelah Konperensi Malino selesai tugasnya dengan diterimanya resolusi dan mosi dalam bidang politik, pemerintahan ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan keuangan dan perdagangan, maka tibalah saatnya bagi Letnan Gubernur Jenderal van Mook untuk menutup konperensi tersebut secara resmi. Tepat pada pukul lima sore 24 Juli 1946 Konperensi Malino ditutup dengan kata perpisahan yang mengharukan di mana van Mook antara lain mengatakan bahwa “... Kita semua selama Konperensi Malino ini meletakkan dasar di atas mana bangunan Indonesia baru dan merdeka akan diwujudkan ...”

Pada malam harinya diadakan malam perpisahan dihadiri oleh semua wakil-wakil daerah. Letnan Gubernur Jenderal van Mook dengan seluruh stafnya disertai dengan semua pers dan anggota sekretariat yang bekerja keras untuk melancarkan jalannya muktamar. Pada kesempatan itu van Mook mengumumkan bahwa konperensi yang kedua yang ditujukan untuk membicarakan secara terperinci pembangunan dan perwujudan susunan ketatanegaraan akan dilangsungkan di Denpasar [Bali] dalam waktu empat bulan yang akan datang.

Diharapkan Komisariat Pemerintahan Umum di bawah pimpinan Dr W Hoven dan wakilnya CJHR de Waal sudah berhasil menyelesaikan segala persiapan-persiapan untuk pembangunan ketatanegaraan dan pemerintahan itu. Yang sangat penting dalam persiapan itu ialah merencanakan suatu peraturan pemilihan agar yang hadir dalam konperensi itu nanti benar-benar mewakili aliran-aliran politik dan masyarakat di daerahnya masing-masing. Juga harus dipikirkan bagaimana caranya penunjukan wakil-wakil golongan Belanda, Cina dan kelompok Timur Asing lain dalam Konperensi Denpasar yang akan datang, sehingga membuat muktamar itu benar-benar mewakili semua golongan [representatif].

Ditinjau dari sudut kepentingan pihak Belanda dan politik van Mook mengenai wilayah Timur Besar dan Kalimantan, dapat dikatakan bahwa Konperensi Malino berhasil. Pada umumnya van Mook tidak banyak menyerah dalam Konperensi Malino itu, akan tetapi sebaliknya banyak memperoleh keuntungan. Gagasannya mengenai federalisme mendapat dukungan dari wakil-wakil daerah. Hal ini dapat dimengerti oleh karena komposisi keanggotaan Konperensi Malino itu terdiri dari wakil-wakil daerah termasuk golongan pemuka rakyat dan aliran masyarakat, kepala-kepala swapraja dan perhimpunan masyarakat adat yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Belanda atau masuk golongan kooperator. Sekalipun beberapa dari kalangan mereka ini bersimpati pada Republik Indonesia. Sekalipun mereka ini termasuk golongan kooperator, tetapi mereka adalah nasionalis-nasionalis yang juga menginginkan terlaksananya secepat mungkin kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengutuk kolonialisme dalam segala bentuknya.

Akan tetapi suasana dan keadaan serta kondisi politik di mana mereka berada sangat berbeda dengan keadaan di Jawa dan Sumatera di mana kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia de facto dapat dirasakan dan juga diakui oleh pimpinan Tentara Sekutu. Sebagaimana telah dijelaskan dalam permulaan tulisan ini, di wilayah Timur Besar [Indonesia Timur] dan Kalimantan akibat kebijaksanaan Tentara Sekutu, dalam hal ini Tentara Australia, yang mengakui NICA sebagai bagian yang integral dari organisasi Tentara Sekutu untuk memulihkan kembali pemerintahan sipil di wilayah tersebut, pada hakekatnya berarti bahwa pemerintahan sipil kolonial Belanda dalam bentuk yang baru secara de facto berlaku di wilayah tersebut. NICA berusaha untuk mengadakan kerjasama dengan kepala-kepala swapraja, pemimpin-pemimpin himpunan masyarakat adat, pemimpin-pemimpin aliran masyarakat dan rakyat dan harus diakui bahwa atas perlindungan Tentara Sekutu usaha tersebut dapat berhasil.

Keadaan dan perkembangan demikian menyebabkan timbulnya kondisi politik dan suasana yang sangat berbeda di wilayah Timur Besar [Indonesia Timur] dan Kalimantan bila dibandingkan dengan keadaan di Jawa dan Sumatera. Selain daripada ini kekuatan militer yang dapat mendukung suatu kekuasaan Republik Indonesia di wilayah Timur Besar dan Kalimantan masih terlalu sedikit untuk mengimbangi pasukan-pasukan Sekutu dan kemudian Tentara Belanda yang membonceng Tentara Sekutu dan menjalankan tugasnya untuk menjaga dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum [law and order].

Menjelang diadakannya Konperensi Malino hampir di seluruh Timur Besar dan Kalimantan keamanan dapat dipulihkan kembali dan dibawah pimpinan NICA yang mendapat perlindungan Tentara Sekutu dan kemudian dengan dukungan Tentara Belanda sendiri yang menyusul Tentara Sekutu, pemerintahan sipil berjalan secara normal. Inilah yang mengakibatkan bahwa utusan-utusan yang datang di Malino untuk menghadiri konperensi itu terdiri dari orang-orang yang sebenarnya sudah bersedia mengadakan kerjasama dengan NICA yang disebabkan oleh karena kondisi dan perkembangan politik di “daerah Malino” itu sangat berbeda dengan keadaan di Jawa dan Sumatera.

Yang mendorong wakil-wakil “daerah Malino” tersebut turut serta dalam Konperensi Malino itu terutama disebabkan keinginan mereka untuk mewujudkan suatu formula [gagasan] politik dengan jalan berdialog dengan pihak Belanda sambil memperhatikan perkembangan politik setempat guna menghindarkan kekacauan di wilayah tersebut. Selama menunggu terwujudnya status politik Indonesia yang kemudian dapat disetujui oleh semua golongan dan rakyat Indonesia, mereka bersedia bekerjasama dengan Pemerintah Belanda untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang demi kesejahteraan rakyat yang mereka wakili. Terutama pembaharuan di bidang tata pemerintahan dan pembangunan ketatanegaraan segera harus diwujudkan dengan memperhatikan realitas politik di wilayah Timur Besar dan Kalimantan, untuk menormalisasi kehidupan rakyat di bawah pimpinan dan tanggungjawab serta kekuasaan pemimpin-pemimpin mereka yang berpandangan realistis.

Maka untuk mencapai cita-cita ini mereka menganggap sistem pemerintahan federal yang paling cocok untuk “daerah Malino”, dan oleh karena itu sistem federal itu didukung oleh semua wakil-wakil daerah tanpa terkecuali dalam Konperensi Malino tersebut.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar