Jumat, 13 April 2012

NASIONALSIME MENCARI IDEOLOGI

NASIONALSIME MENCARI IDEOLOGI

PROLOG DAN EFILOG PARTINDO

* Catatan Dokumenter: Din Osman

Nasionalisme mencari ideologi, sebuah gambaran yang memang sangat berbau tautologis. Bukankah nasionalisme itu sendiri sebuah ideologi? Tetapi justru di sinilah letak soalnya. Sampai taraf tertentu, nasionalisme sebagai ideologi hampir tak pernah jelas batas-batasnya. Dalam realitas politik, istilah nasionalisme boleh dkatakan telah menjadi sammelbegriff, suatu pengertian yang mencakup segala hal yang bersifat anti, antipenjajahan, antiasing, antibarat, dan lain sebagainya.

Demikianlah, sepanjang sejarah perjalanannya, Partai Nasional Indonesia [PNI] sebagai partai yang mengkalim diri sebagai simbol besar nasionalisme Indonesia sering terombang-ambing dalam upaya merumuskan kata kunci tersebut sebagai seperangkat gagasan dan tindakan yang menyatukan. Silih bergantinya pucuk pimpinan PNI dengan garis politik yang berbeda, dalam banyak hal malah bertentangan, menyebabkan sulit menghilangkan kesan bahwa ideologi nasionalisme serupa karet yang bisa direntang-rentangkan. Sejarah PNI, karenanya, dapat juga dipandang sebagai suatu proses pencarian ideologi yang tak kunjung selesai.

Pada 1957, pimpinan PNI tidak bisa berbuat apa-apa selain menyadari kemelorotan kekuatannya dan kekuatan sistem partai secara keseluruhan, tetapi tanggapan mereka terhadap hal ini tampak ragu-ragu dan tidak imajinatif. Bukannya mengembangkan strategi baru, mereka malah berlindung di balik jalan tengah politik yang sempit. Bukannya keluar dari aliansi lama dan membentuk aliansi baru, PNI malah berpaling ke dalam dan ke proses pengucilan diri. PNI semakin mengucilkan diri dari politik setelah kekalahan kekuatan pemberontak tampak nyata pada Mei 1958, padahal dalam proses tersebut Masyumi, mulai dari kekuatannya hingga tujuannya, telah tersingkir dari arena politik. PNI kini semakin merasakan kebutuhan untuk memperoleh rasa aman dan kedudukan politik yang mantap di jalan tengah.

Karena hanya mengarahkan perhatiannya untuk mempertahankan pengaruh partai di kabinet dan birokrasi, para pemimpin PNI gagal mengambil tindakan untuk membendung arus kemerosotan dan kemunduran di tubuh partai. Dalam pernyataan terbuka dan dalam pertimbangan intern partai, seperti misalnya BPK, mereka memperlihatkan kekurangpahaman mengenai perkembangan yang menyebabkan kemerosotan partai. Kadang kala pandangan politik ini tidak membaik karena mereka tidak dapat melihat bahwa partai kini terpecah, walaupun ada begitu banyak bukti tentang itu. Ini bukan karena mereka tidak melihat tanda-tanda itu. Sejak awal 1956, ada unsur-unsur di dalam maupun di luar partai yang melihat kebutuhan mendesak untuk mengadakan pembaruan. Memang mereka sendiri berbicara tentang pembaruan, tentang apa yang mereka sebut zelfcorrectie [mawas diri] di dalam partai. Tetapi mereka tidak pernah berbuat banyak dalam hak koreksi, sampai, tanpa mereka sadari, sudah terlalu lambat.

Pada akhir Oktober 1959, Presiden Soekarno membuat pidato lain yang semakin mengguncangkan kalangan pemimpin PNI. Dalam pidato itu dia mendesak agar semua partai dibubarkan. Para pemimpin PNI menanggapinya dengan mengatakan bahwa meskipun kritik Soekarno terhadap sistem partai ada benarnya, partai-partai politik seharusnya dibiarkan hidup terus karena diperlukan untuk kelangsungan demokrasi di Indonesia. Secara pribadi mereka menantang Presiden Soekarno untuk menjadi anggota PNI agar bisa mengembalikan partai ke jalan yang benar. Selain kesalahpahaman mengenai peranan Soekarno sebagaimana terlihat dari tantangan ini, sampai tingkat tertentu tantangan tersebut juga merupakan pembelaan diri, karena para pemimpin PNI tahu benar keuntungan politik luar biasa yang akan dicapai PNI bila Sokarno menjadi anggotanya.

Hampir sepanjang 1956 dan awal 1957, gerakan pembaruan partai dilaksanakan dalam batas-batas partai. Asmara Hadi dan Sarmidi bersikap hati-hati dalam mengecam agar tidak memberi kesan terlalu keras ketika membuat pernyataan di depan umum tentang pembaruan partai. Namun sejak akhir 1957 unsur-unsur kiri mulai kecewa terhadap kemungkinan untuk melaksanakan pembaruan dengan bekerja di dalam batas-batas partai. Ada beberapa alasan untuk perkembangan ini. Meninggalnya Sarmidi pada Juni 1957 tidak memungkinkan pemimpin dari unsur-unsur ini mencapai jabatan puncak di Dewan Partai. Bereaksi terhadap kekalahan PNI dalam pemilihan anggota DPRD dengan bergerak menjauhi PKI dan mendekati Masyumi serta kelompok konservatif politik lainnya, pimpinan PNI menunjukkan ketidaksediannya menghadapi tuntutan strategis gerakan pembaruan dan berusaha meyakinkan unsur-unsur pembaruan bahwa usaha mereka sia-sia.

Pada Januari 1958, kelompok yang menamakan dirinya Badan Pelaksana Koreksi dan Konsolidasi PNI menerbitkan sebuah pamflet berjudul “Pulihkan Marhaenisme”. Pamflet ini mengecam pimpinan PNI karena tidak berbuat sesuatu yang nyata untuk pembaruan partai. DPP, demikian kata pamflet itu, jangan menganggap pembaruan partai sebagai sesuatu yang gampang, karena kelompok oportunis akan berjuang keras melawannya. Badan tersebut menambahkan penyesalannya atas kenyataan bahwa sampai sejauh ini DPP hanya mengambil tindakan setenga-setengah dan langkah tambal sulam buat pembaruan partai. Marhaenis sejati yang mengecam partai diserang, sedangkan petualang politik tetap memegang pimpinan partai. Inilah unsur-unsur yang membuat rencana-rencana licik melawan pemerintah dan kenyataannya DPP tetap membisu, bukannya menyalahkan orang-orang ini. Dalam kenyatannya, kadang-kadang ada kesan bahwa DPP menyetujui mereka. Namun mungkin hal ini hanya karena DPP terlalu lemah dan terlalu terpecah belah untuk dapat berbuat banyak.

Pada 25 Februari, para pemimpin badan ini, yang terpenting adalah mantan Gubernur Sumatera Selatan Winarno Danuatmodjo dan pejabat tinggi Kantor Kepresidenan Winoto Danuasmoro, bertemu dengan anggota DPP Soewirjo dan Osa Maliki. Pada pertemuan ini disetujui bahwa badan tersebut akan dibubarkan dan diganti dengan lembaga resmi DPP. Yang sangat mencolok, bila badan yang lama bertujuan melaksanakan pembaruan partai, lembaga penggantinya adalah panitia studi untuk menilai berbagai usulan pembaruan [lihat Instruksi DPP PNI No 16/Pol/58, 28 Februari 1958]. Di luar pengangkatan Winarno untuk menduduki salah satu jabatan dalam BPK, perpecahan antara unsur pembaruan dan DPP bergerak menuju ke tingkat tertentu sehingga pemimpin pembaruan seperti Winarno dan Winoto kini secara terbuka membicarakan kemungkinan mendirikan partai sempalan. Sejak Mei 1958, kedua pemimpin ini mulai melaksanakan pertemuan dengan para pemimpin PNI yang bersimpati kepada gerakan pembaruan. DPP melawannya dengan memerintahkan cabang daerah untuk memecat anggota partai yang turut dalam kegiatan-kegiatan ini atau mengkritik partai secara terbuka [lihat Instruksi DPP No 17/Pol/58, 29 Mei 1958]. Namun DPP sama sekali tidak siap bertarung. DPP diserang bukan saja oleh unsur-unsur pembaru di tubuh partai melainkan juga oleh kelompok-kelompok politik lain di luar partai baik yang kanan maupun yang kiri. Pada akhir Juni, DPP semakin lemah karena usaha-usahanya untuk merombak kabinet ditolak.

Setelah lebih dari sebulan beredarnya desas-desus bahwa suatu partai baru akan didirikan, akhirnya Partindo benar-benar diumumkan pada 5 Agustus 1958. Pengumuman yang dibuat Winarno mengatakan bahwa partai baru ini merupakan kelanjutan Partindo sebelum perang dan berdasarkan “Marhaenisme yang Sebenarnya”, yaitu didasarkan pada “Marxisme yang diterapkan untuk kondisi Indonesia”. Winarno juga mengumumkan bahwa formatur partai yang baru adalah dr Buntaran Martoatmodjo, Gatot Mangkupradja, Asmara Hadi, Mr Boeddhyarto Martoatmodjo, Winoto Danuasmoro, Mr Muwalladi, dan dia sendiri.

Manifesto Politik Partindo menelusuri perkembangan perjuangan Marhaenis dari masa sebelum perang, melalui revolusi dan masa liberal, sampai didirikannya Partindo. Meskipun Manifesto tersebut tidak menyebut-nyebut PNI, garis besar haluannya mengikuti apa yang sebelumnya diambil para pemimpin pembaruan PNI seperti Asmara Hadi dan Sarmidi Mangunsarkoro. Dalam garis besar haluan ini dikatakan bahwa meningkatnya dominasi unsur-unsur borjuis dan liberal dalam perjuangan telah menyebabkan pengkhianatan terhadap cita-cita revolusioner Marhaenis. Tugas Partindo adalah mengembalikan Marhaenis kepada tujuan-tujuan semula. Dalam konperensi pers sehari setelah Partindo diumumkan, para pemimpinnya menguraikan garis besar sikap mereka terhadap masalah-masalah saat itu yang sangat berbeda dengan sikap yang diambil PNI. Mereka menggarisbawahi usaha-usaha PNI untuk mengubah kabinet dengan mengatakan bahwa mereka sepenuhnya mendukung kabinet. Mereka menyinggung keraguan PNI mengenai usulan Demokrasi Terpimpin dengan mengatakan bahwa mereka 100 persen mendukung usulan tersebut. Mereka juga mengatakan bahwa mereka sepenuhnya menentang penanaman modal asing.

Pimpinan nasional Partindo dibentuk seminggu setelah Partindo diumumkan terdiri dari ketua Winarno Danuatmodjo, wakil ketua I dr Buntaran Martoatmodjo wakil ketua II Asmara Hadi wakil ketua III [saat itu akan diumumkan kemudian] wakil ketua IV Winoto Danuasmoro. Sekretaris Jenderal Mr Muwalladi, anggota Sugoro, Soedarsono, Mr Boeddyarto Martoatmodjo, Jatim Muntjar dan Mr Santoso.

Pimpinan baru ini menampilkan Partindo sebagai kelompok campuran yang terdiri dari sejumlah politikus yang memiliki tidak banyak kesamaan selain sama-sama penganut penerapan Marhaenisme secara radikal. Pada saat didirikan, pimpinan Partindo menyatakan memiliki 11.000 anggota dari berbagai tempat di Jawa Barat, Sumatera Selatan dan beberapa kota di Jawa tengah. Pada bulan-bulan setelah partai ini diumumkan, didirikanlah cabang-cabang Partindo di sejumlah tempat lainnya. Tetapi segera menjadi nyata bahwa partai baru tersebut tidak memperoleh dukungan luas kecuali di beberapa daerah di mana pemimpinnya mempunyai pengikut-pengikut pribadi.

Para pemimpin Partindo juga merundingkan penggabungan berbagai kelompok kecil sempalan PNI seperti gerakan Marxis-Marhaenis di Yogyakarta, gerakan Marhaen di Bandung, gerakan Rakyat Marhaen di Malan dan Gerakan Rakyat Marhaen Indonesia di Medan. Kelompok-kelompok ini bertemu di Yogyakarta pada 15 September 1958, tetapi tidak ada pemberitaan pers mengenai hasil pertemuan itu. Kelompok-kelompok tersebut tidak pernah sungguh-sungguh memiliki banyak dukungan politik dan boleh dibilang telah menghilang. Tidak semua pemimpin mereka adalah mantan pemimpin PNI. Gerakan Marxis-Marhaenis misalnya, dipimpin oleh dua mantan pemimpin PSI di Yogyakarta, Soemantoro dan Asrar. Hampir sama dengan pimpinan nasonalnya, pimpinan Partindo daerah juga sangat beraneka ragam. Di antaranya ada para mantan pemimpin partai-partai nasionalis kecil, ditambah sejumlah politikus nonpartai. Beberapa mantan pemimpin SOBSI, seperti K Werdojo dan F Suharto Rebo yang menjadi ketua organisasi pemuda Partindo tingkat nasional juga ikut bergabung. Gerakan Pemuda Indonesia didirikan 1 Oktober 1958. beberapa bukti juga menunjukkan bahwa para pemimpin PKI lokal membantu Partindo dengan mengizinkan beberapa kader dan simpatisannya mendaftarkan diri sebagai anggota. Laporan unit-unit lokal PNI tentang Patindo kepada DPP penuh dengan cerita tentang para pemimpin PKI lokal sebagai pemimpin-pemimpin yang paling efektif dalam Partindo.

Anggota yang paling banyak diterima Partindo adalah para mantan pemimpin PNI, yakni mereka yang kalah dalam banyak perselisihan tentang sumbangan PNI, dan mereka yang merasa bahwa sedikit harapan bagi PNI untuk kembali ke tujuan radikal yang mereka yakini. Anehnya meskipun begitu besar gembar-gembornya, jumlah pemimpin PNI yang masuk Partindo sedikit sekali. Banyak anggota PNI yang aktif dalam gerakan pembaruan ternyata tetap sabar. Banyak di antara mereka yang mencurigai tujuan beberapa pemimpin nasional Partindo. Mereka juga heran bahwa Partindo tidak pernah menarik seorang pemimpin berkaliber nasional.

Reaksi PNI terhadap pembentukan Partindo bersifat menyerang sekaligus mendamaikan. Di daerah, para pemimpin PNI setempat mengambil garis yang lebih bersifat menyerang. Para pemimpin PNI menyerang para pemimpin Partindo sebagai kaum oportunis, orang-orang yang meninggalkan PNI hanya karena tuntutannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi tidak terpenuhi. Ketika Presiden Soekarno mengeluhkan jumlah partai yang terlalu banyak, para pemimpin PNI mengatakan bahwa mendirikan partai baru merupakan kejahatan. Orang-orang Partindo telah diberi banyak kesempatan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan mereka mengenai pembaruan partai melalui saluran-saluran biasa partai. Dengan mendirikan partai sempalan, dalam kenyataannya mereka memperlemah kekuatan Marhaenis. Dengan menggunakan nama Presiden Soekarno untuk memajukan kepentingan mereka, mereka juga melemahkan keabsahan dan kewenangan kepresidenan dan Soekarno sendiri.

Aspek paling keras dari propaganda balasan PNI terhadap Partindo diarahkan kepada pernyataan Partindo bahwa batasannya tentang Marhaenisme adalah batasan yang tepat. Para pemimpin PNI menyangkal bahwa Marhaenisme adalah “Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia” sebagaimana diumumkan para pemimpin Partindo. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa batasan ini bukan saja keliru secara historis melainkan juga mengingkari sifat asli Marhaenisme Indonesia. Para pemimpin seperti Sartono mengatakan bahwa PNI tidak dapat menerima Marxisme karena sifatnya yang antiagama dan akan membawa Indonesia menjadi masyarakat diktator.

Tegasnya, perdebatan ini bukanlah tentang ideologi sebagai sebentuk doktrin yang sistematis, karena tidak ada satu pihak pun yang menunjukkan sikapnya dalam logika atau dengan konsistensi yang memadai. Sementara pemimpin PNI yang lain menyerang sifat Marxisme yang diktatorial dan antiagama, Soewirjo sendiri mengatakan bahwa sebenarnya tidak banyak perbedaan antara batasan PNI dan Partindo mengenai Marhaenis, karena PNI juga yakin bahwa Marxisme, sebagao alat analisis, adalah bagian penting Marhaenis [lihat Suluh Indonesia, 27 Agustus 1958]. Para pemimpin Partindo sendiri bukanlah contoh tentang konsistensi. Alasannya, sementara mereka mendesak untuk mendefinisikan Marhaenisme sebagai “Marxisme yang disesuaikan untuk kondisi Indonesia”, mereka juga mengatakan bahwa menggunakan Marxisme hanya sebagai alat analisis dan bukan sebagai pandangan hidup.

Meskipun perdebatan ini bersifat ringan dan aneh, jsutru inilah unsur penting dalam pertikaian PNI-Partindo dan dalam perkembangan PNI secara keseluruhan. Sebagaimana kebanyakan konsepsi ideologis Presiden Soekarno, Marhaenisme bisa ditafsirkan sesuai dengan kecenderungan dan kepentingan politik pribadi berbagai penganutnya. Pada awal 1950-an Sidik menggunakan rumusan Marxisme yang disesuaikan untuk Indonesia dalam beberapa pidatonya tetapi tidak pernah secara resmi dimasukkan dalam pernyataan ideologis PNI.

Soekarno pada 25 Agustus 1958 menegaskan batasan Partindo tentang Marhaenisme, dengan mengatakan bahwa Marhaenisme memang didasarkan pada Marxisme seperti yang dirumuskannya pada 1920-an. Peran Presiden Soekarno dalam seluruh peristiwa Partindo sedikit membawa masalah. Partindo tidak dapat didirikan tanpa persetujuannya atau sekurang-kurangnya desakannya secara diam-diam. Kebanyakan pemimpin puncak Partindo secara pribadi dekat dengannya dan ada di bawah pengaruhnya. Tetapi sulit dipercaya bahwa banyak politikus terkemuka yang tidak bersedia masuk Partindo, walaupun ia telah mendesaknya. Juga patut dicatat bahwa Soekarno tidak memberikan pandangannya dalam hal perdebatan mengenai definisi Marhaenisme sampai tiga minggu setelah Partindo diumumkan.

Pada saat itu kebanyakan pemimpin yang semula mau masuk Partindo dengan dukungan lebih terbuka dari Soekarno telah memutuskan tidak jadi bergabung. Sebelum pidatonya 25 Agustus, Soekarno juga mengizinkan Soewirjo mengumukan desas-desus mengenai keterlibatannya dalam Partindo tidak benar. Yang terjadi, Soekarno mendesak orang seperti Asmara Hadi dan Winoto yang berupaya memperbarui PNI dan mendekatkan PNI dengan pandangan politiknya. Sekali lagi upaya ini menimbulkan perpecahan di tubuh partai. Soekarno mungkin merasa bahwa dengan mendukung Partindo secara terbuka akan memutuskan hubungannya sama sekali dengan PNI. Padahal, sejauh ini terbentuknya Partindo sungguh bagus untuk kepentingan Soekarno sendiri, tanpa ia perlu berupaya keras untuk itu. Bukannya kehilangan dukungannya dalam PNI, babak Partindo justru semakin memperkuat dukungannya tersebut.

Akhirnya, dalam bidang keabsahan politik yang licik dan sukar dipercayai serta dalam dasar-dasar ideologis kekuatan partai, harus diselidiki akibat-akibat perpecahan Partindo bagi PNI. Secara keorganisasian Partindo bukanlah ancaman. Kerugian yang ditimbulkan Partindo terhadap PNI bersifat moral. Partai tidak kehilangan banyak anggota yang direbut Partindo tetapi mengalami kerugian besar karena apatisme dan kehilangan gairah. Bagi para pemimpin nasional PNI, Partindo, dan terutama dukungan diam-diam dari Soekarno bagi pernyataan ideologisnya, merupakan satu lagi bukti nyata mengenai ketidakmampuan mereka mengendalikan lingkungan politik mereka, dan bahkan masalah intern partai.

Meskipun terus menerus ada pernyataan mengenai pengabdian terhadap tujuan pembaruan partai, pembentukan Partindo menunjukkan kosongnya pernyataan mereka dan bobot konservatisme yang tidak memungkinkan mereka bereaksi secara kreatif untuk mempercepat langkah perubahan politik ...

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar