Jumat, 13 April 2012

JC OEVAANG OERAY DI KONSTITUANTE

JC OEVAANG OERAY DI KONSTITUANTE

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD [Din Osman]

KONSTITUANTE

Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar [KMB] di Den Haag, Belanda, 23—29 Oktober 1949, antara Delegasi Republik Indonesia dan sejumlah negara bentukan Belanda, termasuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang tergabung dalam Bijeenkomst Federal Overleg [BFO], Indonesia mengalami perubahan bentuk negara dari Negara Kesatuan [unitaris] ke Negara Federal, sesuai konstitusi baru, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat [UUD RIS] yang sudah diparaf di konferensi ini. Secara resmi, perubahan bentuk negara itu terjadi 15 Desember 1949, ketika sidang pleno KNP menyetujui rancangan UUD RIS, dan pada hari yang sama presiden mengsahkannya menjadi UU Nomor 11 Tahun 1949 tentang Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

Dengan terbentuknya RIS, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan seluruh wilayah tanah air Indonesia, kini hanya menjadi salah satu dari 16 negara yang berfederasi ke dalam RIS. Keenam belas negara itu, selain Republik Indonesia di Yogyakarta, termasuk pula Kalimantan Barat. Dengan terbentuknya pemerintahan RIS, waktu itu tidak serta merta pula dibentuk badan perwakilan rakyat. Selama kevakuman itu, yang berlangsung dua bulan, pemerintah bekerja tanpa parlemen, namun persiapan pembentukan DPR tetap berjalan, terutama menetapkan wakil-wakil daerah-daerah bagian.

DPR RIS baru terbentuk 15 Februari 1950 dan pada hari itu juga Presiden RIS Soekarno melantik 146 anggota DPR. Pada tanggal itu untuk pertama kali pula Indonesia menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat untuk parlemen, sama dengan yang tercantum dalam UUD RIS. Istilah KNP untuk negara federal ditinggalkan sedangkan Negara Republik Indonesia tetap menggunakan istilah KNP. Ketika dilantik, ke 146 anggota DPR RIS itu belum mengangkat sumpah. Pengangkatan sumpah justru dilakukan 17 Februari 1950 di Istana Negara. Karena DPR RIS terbentuk 15 Februari 1950, maka pemerintah pernah menetapkan 15 Februari sebagai hari jadi DPR. Sampai 1950, DPR telah melakukan dua kali sidang pleno dengan acara memperingati lustrum pertama, 1955, dan lustrum kedua, 1960, DPR.

Dalam susunan keanggotaan DPR RIS ketika dilantik, Kalimantan Barat, diwakili 4 orang anggota. Keterwakilan anggota DPR RIS itu berdasarkan negara dan atau daerah-daerah bagian tak berlangsung lama, sebab kemudian muncul gerakan untuk mengembangkan susunan keanggotaan berdasarkan fraksi-fraksi asal partai politik masing-masing. Sementara, menurut Pasal 80 ayat [1] UUD RIS, Senat mewakili daerah-daerah. Artinya Senat adalah wakil-wakil daerah di dalam parlemen. Jumlah anggota senat per daerah adalah dua orang, ayat [2]. Meskipun satu daerah diwakili dua anggota senat, namun di parlemen masing anggota senat memiliki satu suara, one man one vote. UUD RIS menyatakan bahwa keanggotaan senat, dipilih masing-masing dua orang dari setiap daerah bagian [negara bagian]. Dengan demikian karena ketika itu Negara RIS hanya terdiri dari 16 negara bagian, maka anggota Senat hanya 32 orang. Namun, sampai berakhirnya RIS hanya 27 orang yang aktif, karena empat orang mengundurkan diri dan seorang, M Djamani dari Kalimantan Tenggara, belum disumpah. Anggota Senat RIS utusan dari Kalimantan Barat masing-masing A Djelani dan Raden Abubakar Ariadiningrat.

Untuk ketiga kalinya, sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, berhadapan dengan keadaan dimana proses pembentukan badan perwakilan rakyat bersifat transisi akibat perubahan ketatanegaraan yang begitu cepat. Pertama, di awal kemerdekaan, badan perwakilan rakyat bukan DPR sebagaimana diatur Bab VII Pasal 19 - 22 UUD 1945, tetapi KNP yang keberadaannya diatur oleh Aturan Peralihan UUD itu. kedua, ketika KMB mengharuskan bangsa ini membentuk Negara Serikat, maka badan perwakilan meski sudah mulai memakai nama DPR, tetapi lembaga ini lebih mencerminkan pemerintahan yang federalis, bukan negara kesatuan. Ketiga, ketika negara yang federalis bubar dan kembali ke negara kesatuan [unitaris], maka DPR baru pun dibentuk, DPR Sementara [DPRS]. DPRS ini mengacu kepada konstitusi baru, UUD Sementara atau dikenal juga dengan UUDS 1950 yang merupakan amandemen atas UUD RIS.

Sejak dilantik 16 Agustus 1950 sampai berakhir masa jabatannya 26 Maret 1956, DPRS telah berhadapan dengan lima pemerintahan. Pertama dengan Kabinet Natsir 7 bulan 21 hari [6 September 1950—27 April 1951], kedua Kabinet Sukiman—Suwirjo 11 bulan 7 hari [27 April 1951—3 April 1952], ketiga Kabinet Wilopo—Prawoto 1 tahun 4 bulan [3 April 1952—30 Juli 1953], keempat Kabinet Ali—Wongso—Arifin 2 tahun 11 bulan [30 Juli 1953—12 Agustus 1955], dan kelima Kabinet Burhanuddin Harahap 7 bulan 13 hari [12 Agustus 1955—24 Maret 1956]. Meskipun tidak satu pun dari pemerintahan itu yang jatuh karena hasil pemungutan suara di parlemen, tetapi kritik dan serangan yang tajam kepada salah satu menteri atau kabinet secara keseluruhan menyebabkan Perdana Menteri memilih meletakkan jabatan atau mengembalikan mandatnya kepada presiden.

Dalam masa pemerintahan Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilihan anggota DPR, 29 September 1955 dan pemilihan anggota Konstituante 15 Desember 1955. Hasil pemilihan anggota DPR yang diumumkan 1 Maret 1956 adalah Persatuan Daya meraih 146.054 suara (0,39 persen) dengan 1 kursi. Sedangkan hasil pemilihan anggota Konstituante di mana Persatuan Daya meraup 169.222 suara (0,45 persen) dengan 2 kursi. Pelantikan anggota DPR hasil pemilu itu dilakukan Presiden Soekarno, 25 Maret 1955 di Jakarta, sedangkan pemilihan anggota Konstituante pada 15 Desember 1955 dan anggota Konstituante dilantik tanggal 10 Nopember 1956 di Bandung, tempat sidang-sidang Konstituante diselenggarakan.

UUD Sementara menetapkan adanya sebuah badan pembentuk Undang Undang Dasar bernama Konstituante. Dalam UUD Sementara ada penekanan agar konstituante ini harus selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia menggantikan UUD Sementara. Jumlah anggota Konstituante ditetapkan dengan memperhitungkan setiap 150.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil di Konstituante. Anggota Konstituante ini dipilih dalam pemilihan yang umum, bebas, rahasia. Selain anggota yang dipilih, di Konstituante juga terdapat anggota yang diangkat dari golongan minoritas keturunan asing yakni Tionghoa, Arab, dan Eropa yang jumlahnya masing-masing 18, 12, dan 6 orang, atau dua kali lebih besar dari golongan minoritas yan diangkat untuk DPR.

Dalam UUD 1950 ditetapkan bahwa Konstituante tidak dapat bermufakat atau mengambil keputusan tentang Rancangan Undang Undang Dasar baru, jika pada rapatnya tidak hadir sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota sidang [Pasal 137 atay 1]. Undang Undang Dasar baru berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurang dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan disahkan oleh pemerintah [ayat 2]. Apabila Konstituante sudah menerima rancangan Undang Undang Dasar, maka dikirimkan rancangan itu kepada presiden untuk disahkan pemerintah. pemerintah harus mengsahkan rancangan itu dengan segera. Pemerintah mengumukan Undang Undang dasar itu dengan keluhuran [ayat 3].

Sampai berakhirnya era DPRS, Konstituante tidak terbentuk karena belum diadakan pemilihan umum. Pemilihan untuk keanggotaan Konstituante dan juga keanggotaan DPR baru diselenggarakan 1955. Tidak terbentuknya Konstituante dengan cara pengangkatan dapat dipahami karena lembaga ini hanya merupakan lembaga pembuat UUD dan tidak bersifat mengontrol pekerjaan sehari-hari pemerintah. Pada 29 September 1955 Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum [Pemilu] untuk memilih anggota DPR. Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, perekrutan anggota DPR, DPR masa tugas 1956—1960, dilakukan melalui Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.

Landasan hukum lahirnya UU Pemilu itu adalah Pasal 35 UUD 1950, yang menyatakan: “…kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasaan, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut gak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta degan pemungutan suara yang rahasia atau menurut cara yang menjamin kebebasan mengeluarkannya”. Secara lebih konkrit hal itu ditegaskan lagi dalam Pasal 57 UUD 1950 yang menyatakan bahwa anggota-anggota DPR dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat dan menurut aturan yang ditetapkan Undang Undang. Undang Undang yang menjadi payung hukum pemilihan umum itu adalah UU Nomor 7 Tahun 1953 tentag Pemilu.

Dalam Pemilu 1955, anggota DPR yang dipilih ditetapkan Panitia Pemilihan Indonesia [PPI] sebanyak 260 orang, sedangkan untuk Konstituante sebanyak 520 orang. PPI ketika itu menetapkan bahwa jumlah kursi dipilih berdasarkan kuota penduduk per kursi untuk DPR 300.000 jiwa dan Konstituante 150.000 jiwa. PPI menetapkan 16 Daerah Pemilihan, salah satunya Kalimantan Barat. Pemilu 1955 untuk anggota DPR diikuti 118 partai politik, gabungan organisasi, dan calon per orangan, sementara untuk Konstituante berjumlah 91 peserta. Hasil Pemilu 1955 untuk anggota DPR diumumkan 1 Maret 1956 di mana dalam komposisi itu Persatuan Daya mendapatkan 1 kursi, sedangkan untuk hasil pemilihan anggota Konstituante Persatuan Daya 3 kursi. Sesuai dengan UUD 1950, masa tugas anggota DPR hasil Pemilu 1955 ini selama 4 tahun, artinya anggota DPR hasil Pemilu 1955 akan mengakhiri masa kerjanya 25 Maret 1960. Mereka meletakkan jabatannya secara bersama-sama dan sesudahnya dapat dipilih kembali [Pasal 59]. Dengan demikian anggota DPR berikutnya akan dipilih lagi pada September 1959.

Tiga puluh empat partai mengambil bagian dalam Pemilihan Umum, empat partai besar [PNI, Masyumi, NU, dan PKI] dan berbagai macam partai kecil, termasuk Persatuan Daya di Kalimantan Barat. Banyaknya jumlah partai, yaitu agregasi [pengelompokan] kepentingan yang dilihat sebagai fungsi untuk mengubah tuntutan menjadi sejumlah alternatif bagi kebijakan umum. Partai-partai politik itu bermunculan, demikian pula Persatuan Daya, pada saat jumlah dan keanekaragaman kepentingan yang diartikulasikan menjadi terlalu besar sehingga sulit memperoleh kepuasan melalui interaksi informal.

Hasil Pemilihan Umum 1955 ini mempertegas polarisasi antara partai-partai Islam dan non-Islam serta menghasilkan keseimbangan antara pihak-pihak yang bertentang. Faksi-faksi ini terbagi atas tiga kelompok yang masing-masing mendukung falsafah negara tertentu. Pertama, blok Pancasila yang menganggap bahwa kelima sila [Ketuhanan, Perikemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial] merupakan dasar negara, kedua, blok Islam yang mengajukan Islam sebagai dasar negara, dan ketigam blok Sosial—Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 1 dari UUD 1945 sebagai dasar negara. Partai Persatuan Daya, dengan Oevaang Oeray sebagai satu dari tiga legislatornya di Konstituante ini, berada dalam fraksi atau Blok Pancasila.

Anggota Konstituante hasil Pemilu 1955 dilantik Presiden Soekarno, 10 Nopember 1956 di Bandung dan sekaligus pada saat itu presiden membuka sidang Konstituante. Anggota Konstituante berjumlah 530 orang, dan sebanyak 514 orang dipilih dalam Pemilihan Umum, 15 Desember 1955, selebihnya anggota yang diangkat mewakili golongan minoritas keturunan asing [Tionghoa, Eropa, dan Arab] dan Irian Barat. Akan tetapi pada saat penatikan anggota yang hadir hanya 477 orang, karena ada sebagian yang belum selesai masalah administrasinya.

Sebagai badan pembentuk UUD, sejak anggota-anggotanya dilantik Konstituante melakukan sidang secara maraton untuk membuat UUD yang baru menggantikan UUD 1950. dalam persidangan Konstituante semua fraksi menyetujui garis besar materi UUD itu. untuk memperlancar pekerjaan maka dibentuk Panitia Ad Hoc yang terdiri dari 31 orang. Dalam pembahasannya ternyata dengan mudah disepakati masalah yang berkaitan dengan perumusan wilayah negara, bentuk pemerintahan, penetapan 24 pokok: yakni Materi HAM, Hak Asasi dan Kewajiban Warganegara, Kepegawaian, Keuangan, Lagu Kebangsaan, dan Ibukota Negara. Perbedaan muncul pada pembahasan Dasar Negara, dimana golongan Islam [Masjumi, NU, PSII, Perti] mengajukan Islam sebagai dasar negara. Pembahasan ini berlarut-larut, apalagi di tengah-tengah pembahasan itu Presiden Soekarno mewacanakan tentang perlunya penerapan UUD 1945.

Malah pada 19 Februari 1959, pemerintah telah mengeluarkan suatu keputusan tentang pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada Undang Undang Dasar 1945. Keputusan pemerintah itu disampaikan kepada Sidang DPR, 2 Maret 1959. Baik keputusan Kabinet Karya, 19 Februari 1959 maupun Keterangan Pemerintah, 2 Maret 1959 kepada DPR tersebut keduanya telah disampaikan pula kepada Sidang Konstituante. Kemudian, Presiden, pada 22 April 1959 menyampaikan amanatnya di hadapan Konstituante yang memuat anjuran Kepala Negara dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945. Amanat Presiden tersebut diperdebatkan dalam suatu Pemandangan Umum pada Sidang Konstituante 29 April sampai 13 Mei 1959, di mana telah berbicara 57 orang anggota, termasuk JC Oevaang Oeray. Pada penyampaian pendapat akhir yang dilangsungkan 25 dan 26 Mei 1950 telah berbicara sebanyak 28 anggota Konstituante, Oevaang oeray salah seorang darinya, yang kemudian dijawab oleh pemerintah pada 27 Mei 1959.

Berdasarkan usul Panitia Musyawarah Konstituante pada 29 Mei 1959, rapat pleno Konstituante menyetujui untuk melangsungkan pemungutan suara untuk memutuskan apakah akan kembali ke UUD 1945 sesuai rumusan 18 Agustus atau kembali ke UUD 1945 mengikuti usul KH Masjkur dkk, yang menginginkan Mukadimah Undang Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh Presiden Soekarno itu dirubah dengan menyisipkan kalimat, “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Selain itu diusulkan pula perubahan Pasal 29 ayat [1] sehingga berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam pemungutan suara itu 265 suara setuju kembali ke UUD 1945 sesuai rumusan 18 Agustus 1945 dan 210 menolak. Selanjutnya pada 30 Mei 1959 rapat Konstituante mengadakan pemungutan suara untuk menetapkan UUD 1945 menjadi UUD RI. Dalam rapat sebelumnya telah ditetapkan, jika pada pemungutan tersebut tidak diperoleh suara sebanyak dua pertiga dari jumlah yang hadir, maka pemungutan suara keduakalinya diadakan 1 Juni 1959. Apabila pada pemungutan suara yang kedua masih belum diperoleh suara sebanyak dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir, maka diadakan pemungutan suara untuk ketiga kalinya pada 2 Juni 1959.

Pemungutan suara pada 30 Mei 1959 dilakukan secara terbuka dihadiri 478 anggota. Hasil dari pemungutan suara tersebut 269 suara setuju dan 190 suara tidak setuju. Pada 1 Juni 1959, untuk kedua kalinya Sidang Konstituante mengadakan pemungutan suara secara rahasia. Dalam pemungutan suara ini diperoleh 264 suara setuju dan 204 suara tidak setuju, sedangkan jumlah anggota hadir 469 orang. Pemungutan suara atas usul ketua dengan persetujuan sidang pleno dilakukan secara terbuka dilakukan lagi untuk ketiga kali, pada 2 Juni 1959. Hasilnya 265 suara setuju da 203 suara tidak setuju, sedangkan anggota hadir tercatat 468 anggota. Dalam ketiga pemungutan tersebut ternyata tidak diperoleh suara sebanyak 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Mengingat situasi Sidang Konstituante sudah tidak dapat menghasilkan keputusan untuk menerima UUD 1945 menjadi UUD RI, maka Ketua Rapat berpendapat, dalam keadaan yang demikian akan kuranglah manfaat untuk meneruskan pembicaraan mengenai masalah kembali kepada UUD 1945 dalam bentuk yang diusulkan Pemerintah.

Namun sikap Pemerintah berbeda. Dalam rangka usaha untuk mengendalikan keadaan, maka dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat, 3 Juni 1959 No Prt/Perperpu/040/1959 tentang larangan adanya kegiatan-kegiatan politik. Berhubung dengan situasi yang diberlakukan ini maka atas usul ketua dikemukakan bahwa mulai saat itu perlu dilangsungkan reses dengan ketentuan masa reses akan dipergunakan untuk mengadakan tukar pikiran antara Pimpinan Konstituante dengan Pemerintah. Sementara itu berbagai fraksi dalam Konstituante berturut-turut menyatakan tidak akan menghadiri sidang lagi. Demikian pula dengan Oevaang Oeray. Sementara tukar pikiran antara pimpinan Konstituante dan pemerintah berlangsung 27 Juni 1959. Pada kesempatan itu ditegaskan anjuran untuk kembali kepada UUD 1945 yang merupakan gagasan [politik] Presiden, sehingga sukar bagi Pemerintah untuk menentukan langkah selanjutnya tanpa musyawarah dengan Kepala Negara. Namun, mengingat ketika itu Presiden Soekarno sedang berada di Jepang, sebagai jalan keluar diutus Menteri Penerangan, Sudibyo, untuk memberi laporan lisan kepada Presiden.

Dalam kemacetan pembahasan karena adanya pemboikotan persidangan oleh sebagian anggota Konstituante, termasuk Oevaang Oeray memilih tindakan ini, maka kesempatan itu dipergunakan berbagai pihak mendesak Presiden untuk mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945. Pada 3 Juli 1959 setelah presiden kembali dari Jepang, melalui Sidang Kabinet Presiden menyatakan akan mendekritkan berlakunya lagi Konstitusi Proklamasi. Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Soekarno atas nama rakyat Indonesia selaku Presiden Republik Indonesia dan sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, memproklamirkan pelaksanaan “Dekrit Presiden untuk Kembali kepada Undang Undang Dasar 1945”. Dengan keluarnya dekrit itu maka berakhirlah nasib Konstituante hasil pilihan rakyat dalam Pemilu 1955 karena dianggap gagal menylesaikan tugasnya. Namun, Ketua Konstituante Mr Wilopo pernah menyatakan, sebagaimana pula pendapat ini dibenarkan Oevaang Oeray kemudian, bahwa Konstituante sudah berhasil menyelesaikan 90 persen tugasnya. Seandainya majelis ini diberi kesempatan yang lebih fair, kata Oevaang Oeray suatu ketika, dalam beberapa bulan lagi tanpa intervensi dari luar, niscaya Konstituante dapat merampungkan tugasnya.

DASAR NEGARA

Sejak pelantikan anggota 10 Nopember 1956 hingga sidang Konstituante yang terakhir 2 Juni 1959, berlangsung tujuh kali sidang pleno, satu kali pada 1956, tiga kali pada 1957, dua kali 1958, dan satu kali pada 1959. Panitia Persiapan Konstitusi mengadakan rapat di antara dua sidang pleno. Pada 1958 jumlah sidang pleno lebih sedikit dibandingkan 1957 karena sidang pleno berhasil mengambil keputusan tentang beberapa masalah dan bahkan berhasil mencapai keputusan tentang pasal-pasal yang akan dimasukkan dalam UUD. Karena itu, Panitia Persiapan Konstitusi, yang ditugaskan membahas lebih lanjut masalah-masalah yang telah diputuskan, bersidang lebih sering daripada tahun sebelumnya. Karena itu juga sidang-sidang pleno pada 1958 lebih singkat, yang terakhir selesai awal September, dibandingkan dengan sidang-sidang 1957 yang berlangsung hingga Desember.

Perdebatan sekitar dasar ideologis negara dalam Konstituante berlangsung dalam dua babak dari 11 Nopember hingga 7 Desember 1957. Babak pertama melibatkan 47 orang pembicara, di mana Oevaang Oeray salah seorang di antaranya, sedang yang kedua 54 orang pembicara. Tiga posisi ideologis diajukan untuk dijadikan dasar negara. pertama adalah Pancasila, yaitu kelima sila yang menggunakan rumusan kata-kata yang agak berbeda dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, 1949, dan 1950, yaitu Ketuhanan, Perikemanusiaan, Kesatuan atau Nasionalisme, Permusyawaratan atau Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Sampai saat itu kelima sila ini dianggap sebagai Dasar Falsafah Negara. kedua adalah Islam, yaitu ajaran mengenai hal-hal duniawi dan ukhrawi yang berasal dari Tuhan, yang secara resmi dianut oleh lebih dari 90 persen rakyat Indonesia.

Islam sebagai dasar negara juga pernah diusulkan oleh para Pemimpin Golongan Islam dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1945. Posisi ideologis ketiga adalah paham yang dianut Blok Sosial-Ekonomi, yaitu struktur sosio-ekonomi yang berdasarkan azas kekeluargaan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 UUD 1945, yang pelaksanaannya harus dijamin oleh struktur politik yang dirumuskan dalam Pasal 1 UUD tersebut. [Pasal 33 (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan, Pasal 1 (1): Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik (2). Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perdebatan dibuka dengan laporan yang disusun oleh Panitia Persiapan yang berisi pernyataan singkat mengenai posisi Blok Sosial—Ekonomi, yang sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 1 UUD 1945, diikuti dengan sejumlah pernyataan yang mendukung Islam dan Pancasila sebagai dasar falsafah yang pantas untuk mendirikan negara. argumen utama yang diajukan untuk mendukung Islam didasarkan pada kedaulatan hukum Ilahi. Namun, golongan ini juga mengajukan demokrasi berdasarkan permusyawaratan antara wakil-wakil rakyat yang dipilih, yaitu bentuk demokrasi yang akan menegakkan kebenaran dan keadilan. Argumen penting yang mendukung Pancasila ialah bahwa Pancasila akan merupakan forum bagi semua golongan dan aliran yang berbeda-beda dalam masyarakat Indonesia sehingga tidak satu pun golongan atau aliran yang akan dirugikan dalam usaha menerapkan ideologinya masing-masing. Pancasila juga merupakan dasar yang baik untuk menggalang persatuan negara.

Oevaang Oeray dengan Partai Persatuan Daya-nya berada dalam proporsi pendukung Ideologi Pancasila, di mana Ideologi Pancasila ini tidak hanya memperoleh dukungan dari PNI yang besar [116 suara] bersama golongan nasionalis yang lebih kecil seperti IPKI [8 suara], GPPS [5 suara], Parkindo [partai politik Kristen, 16 suara] dan Partai Katolik [10 suara], namun juga disokong dari PKI [60 suara] serta golongan-golongan yang berafiliasi pada Partai Komunis, seperti Republik Proklamasi [20 suara] dan Acoma [1 suara], kemudian PSI yang beraliran sosial-demokratis [10 suara], dan fraksi yang terdiri dari minoritas Cina, Baperki [2 suara]. Fraksi Pancasila ini secara bersama-sama menguasai sedikit lebih dari setengah jumlah suara. Koalisi Pancasila merupakan pengelompokan yang sungguh-sungguh heterogen.

Perdebatan itu pada dasarnya merupakan konfrontasi antara para pendukung Pancasila dengan para penganut Islam. Masing-masing pihak menekankan keunggulan ideologi yang diusulkannya karena sumber ideologi tersebut dianggap unggul. Pancasila dianggap sebagai platform sejati untuk setiap ideologi yang terdapat di Indonesia, dan karena itu sesuai dengan kepribadian Indonesia, hanya Pancasila yang dapat menjamin kesatuan dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik. Pada akhir perdebatan mengenai Dasar Negara pada 6 Desember 1957, sidang pleno membahas laporan yang disiapkan Panitia Perumus mengenai Dasar Negara, panitia ini dibentuk pada awal perdebatan 11 Nopember.

Laporan panitia ini menyimpulkan bahwa masih ada tiga pandangan yang berbeda mengenai Dasar Negara, kelima butir konsensus yang diperlukan sebagai prasyarat bagi Dasar Negara mendapat dukungan umum tetapi tidak berhasil menjembatani perbedaan di antara ketiga pandangan tersebut, sejumlah pembicara [tak terkecuali pembicara Oevaang Oeray] menawarkan usul-usul untuk mencapai kompromi, Panitia Persiapan Konstitusi harus ditugaskan untuk menyusun rumusan yang lebih progresid bagi Dasar Negara atas dasar hasl-hasil sidang pleno ketiga 1957 untuk diajukan kepada sidang pleno berikutnya.

Pada Desember 1957, masa akhir perdebatan mengenai Dasar Negara, atas dasar laporan mengenai Dasar Negara yang disusun oleh Panitia Persiapan, sidang menyimpulkan bahwa perbedaan di antara ketiga pandangan masih ada sebagaimana ditunjukkan oleh lampiran-lampirannya yang panjang lebar itu, sebagai produk, dari perdebatan itu sendiri. Di samping itu, sepanjang perdebatan tersebut pemikiran mengenai bentuk negara disampaikan dengan cara yang sangat meragukan kalau diukur dari aspirasi yang sudah memperoleh dukungan umum, yaitu menuju negara konstitusional atau Rehtsstaat—negara berdasarkan kekuasaan hukum [rule of law]. Dalam sidang pleno kedua 1957, ketika Konstituante membahas topik yang akan dimasukkan ke dalam Undang Undang Dasar, sudah terlihat adanya kesempatan yang meluas tentang aspirasi konstitusional. Penghormatan terhadap HAM dianggap menjadi prasyarat Rechstaat Indonesia, dan karena itu disetujui bahwa HAM harus diberi kedudukan yang menonjol dalam konstitusi.

Sidang pleno ketiga dimulai 4 Nopember 1957 dengan membahas susunan acara yang diusulkan ketua, yaitu Dasar Negara, Hak-hak Asasi Manusia, Bentuk Pemerintahan, Wilayah Negara, Bahasa Nasional, dan Tata Tertib Konstituante. Dasar Negara diberi prioritas tertinggi sesuai dengan kehendak yang diucapkan secara eksplisit oleh Konstituante. Tetapi, sidang pleno kemudian memutuskan perubahan pada susunan tersebut. Sesudah perdebatan mengenai wilayah negara dan bahasa nasional, yang tidak berlangsung lama, perdebatan mengenai Dasar Negara dimulai 11 Nopember 1957 sebagai pokok pembicaraan utama pada acara sidang pleno ketiga. Soal Dasar Negara diputuskan untuk dibahas sebelum soal Hak-hak Asasi Manusia dan Bentuk Pemerintahan karena mayoritas anggota Konstituante menganggap bahwa Dasar Negara merupakan landasan bagi proses pembentukan Undang Undang Dasar. Perdebatan yang panjang dan sengit mengenai Dasar Negara diawali dengan dugaan kuat bahwa inilah masalah yang menentukan.

Perdebatan mengenai Dasar Negara memperlihatkan sikap konfrontantif di antara pendukung ideologi-ideologi yang berbeda. Sebagian besar pembicara, tak terkecuali Oevaang Oeray, memahami ideologi sebagai: “… ajaran yang menyatakan dirinya sebagai kebenaran dan keabsahan mutlak [sekurang-kurangnya bagi Indonesia] dan karenanya menuntut supaya segala yang tidak sesuai dengannya ditekan”. Sifat ideologis perdebatan ini sejak awal sudah menghambat setiap kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Dasar Negara. meskipun terdengar imbauan yang berisi ajakan untuk menjalankan toleransi dan pikiran yang terbuka untuk mencapai mufakat, jelaslah bahwa para anggota Konstituante, tak terkecuali pada Oevaang Oeray pula, tidak bersedia mengadakan kompromi atas dasar pengertian dan apresiasi terhadap pandangan yang berbeda dengan pandangan mereka sendiri. Aspek-aspek ideologis dari perdebatan ini sangat penting” prioritas logis dan makna terpenting Dasar Negara, keunggulan dan kesempurnaan pandangan sendiri mengenai Dasar Negara, sikap wajib pandangan sendiri mengenai Dasar Negara, dan sifat antagonistik perdebatan.

Menurut pandangan umum Dasar Negara sepantasnya diberi prioritas tertinggi. Masalah ini dipandang mempunyai makna terpenting karena akan menentukan isi Undang Undang Dasar. Oevaang Oeray sebagai salah seorang dari beberapa pembicara awal yang memulai perdebatan tidak menganggap berlebihan mengulang-ulangi hal ini. Oevaang Oeray menyiratkan dalam pidatonya bahwa kondisi negara Indonesia tergantung pada pilihan dasar ideologis, yaitu Dasar Negara. lebih jauh Oevaang Oeray [dan sebagaimana juga pembicara lain dari koalisi Pancasila] menekankan bahwa Konstituante seharusnya menyadari bahwa tugasnya sehubungan dengan Dasar Negara ialah merumuskan Undang Undang Dasar baru yang definitif untuk negara yang sudah ada, yaitu Republik Indonesia, sebagai pengganti Undang Undang Dasar Sementara.

Republik Indonesia sudah memiliki ideologi negara: Pancasila, hasil perjuangan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Konstituante, demikian tegas Oevaang Oeray, sudah menerima hasil-hasil dari perjuangan ini, yakni wilayah, bahasa, dan lagu kebangsaan Indonesia, dan sudah merumuskan pasal-pasal mengenai hal tersebut untuk dimasukkan ke dalam Undang Undang Dasar. Begitu juga, Konstituante seharusnya menerima Pancasila dan hanya, lanjut Oevaang Oeray dalam pidatonya [Risalah, 1957/V: 245—246, dan Risalah, 1957/V: 485—486], perlu membuat perumusannya untuk dimasukkan Undang Undang Dasa tanpa mengubah ideologi negara, terlebih lagi karena perubahan apa pun terhadap ideologi negara akan mengubah negara yang sudah berdiri.

Persepsi mengenai makna terpenting Dasar Negara itu tidak dengan sendirinya menutup kemungkinan akan perubahan atau penyesuaian pandangan kalau saja persepsi itu tidak dibarengi keyakinan bahwa ideologi yang dipegang oleh masing-masing pihak itu merupakan ideologi yang paling baik dan seandainya tidak ada perasaan bahwa masing-masing pihak berkewajiban mempertahankannya sekuat tenaga. Namun, ketiga faksi ideologis di dalam Konsttuante itu memang mengangap faham mereka masing-masing sebagai faham yang paling unggul dan wajib ditaati. Koalisi Pancasila menyatakan bahwa pandangan ideloginya berasal dari kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, dari sejarah Indonesia dan dari kepribadian nasional Indonesia sendiri.

Menurut Oevaang Oeray, Pancasila terjadi bukan karena diciptakan melainkan karena tumbuh dan berkembang di dalam rahim Bunda Indonesia. Soekarno [Bung Karno] tidak menciptakannya tetapi hanya menemukannya, menggalinya, atau secara bertahap mengakui unsur-unsurnya. Antara tahun-tahun 1927 dan 1933 ia [Bung Karno] menamakan penemuannya sosio—nasionalisme dan sosio—demokrasi. Pada 1 Juni 1945 ia mengumumkan penemuannya dan menamakannya Pancasila supaya menjadi Weltanschauung bangsa Indonesia sebagai Dasar Negara untuk negara baru yang akan dibentuk. Pancasila kemudian menjadi sumber Republik Indonesia.

Argumen Oevaang Oeray yang berpihak pada Pancasila mengikuti garis-garis terbukti dari hasil-hasil Pemilu, laporan mengenai Dasar Negara yang disusun oleh Panitia Persiapan Konstiusi dan pernyataan-pernyataan di dalam Konstituante bahwa kaum nasionalis, Kristen [sebagaimana keyakinan pada diri Oevaang Oeray], komunis, dan beberapa pihak Islam mendukung Pancasila, umumnya karena mereka sadar bahwa Pancasila merupakan satu-satunya dasar yang dapat diterima oleh mayoritas golongan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Menurut Oevaang Oeray, hanya Pancasila yang secara keseluruhan sesuai dengan kepribadian Indonesia dan dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945, yang menuntut musyawarah dalam semua pertimbangan dan penyelsaian, dan yang sungguh-sungguh memuat azas kebebasan beragama dan beribadah, perikemanusiaan, nasionalisme, dan keadilan sosial.

Sikap ketiga faksi yang tidak mau berkompromi, terutama antara Pancasila dan Islam, sebagian dapat dijelaskan oleh sifat yang oleh masing-masing faksi diangap sebagai bagian mutlak dari pandangan yang mereka anut. Banyak di antara pendukung Pancasila, Oevaang Oeray misalnya, menganggap bahwa mendukung Pancasila merupakan kewajiban yang berasal dari mandat Konstituante untuk menyusun Undang Undang Dasar baru bagi negara yang sudah berdiri dengan landasan khas, yaitu Pancasila. Seperti halnya dengan bahasa nasional dan bendera Indonesia yang sudah ada, ideologi Indonesia juga sudah ada. Oevaang Oeray, dan juga pendukung ini, percaya bahwa Konstituante tidak mengubah kenyataan itu.

Oevaang Oeray lebih lanjut menyatakan bahwa pertanyaan mengenai ideologi mana yang harus menjadi dasar negara, sebetulnya tidak boleh menjadi masalah dalam sidang Konstituante karena dasar ini sudah diputuskan, mereka sudah mencapai kompromi, dan sintesis yang sesungguhnya telah membuktikan kesaktiannya. Karena itu, tegas Oevaang Oeray, soal Dasar Negara hanya merupakan butir formal pada agenda. Apa yang seharusnya dibahas, lanjut dia, dengan sangat teliti ialah cara mewujudkan Pancasila dan pasal-pasal dan subseksi Undang Undang Dasar, serta cara-cara untuk menjamin supaya falsafah ini dilaksanakan secara konkret dalam praktek bernegara. Oevaang Oeray, orang Katolik yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan [Barat], lebih tegas [perhatikan Risalah, 1957/V: 478—484] menekankan kedaulatan setiap agama yang dijamin oleh kebebasan agama sebagai salah satu hak yang paling mendasar, dan Oevaang Oeray menolak kontrol atas praktek keagamaan oleh negara dalam bentuk apa pun.

Jelaslah bahwa perdebatan mengenai Dasar Negara terutama merupakan konfrontasi ideologis, dalam arti pandangan mengenai dunia atau falsafat hidup. Perdebatan tersebut pada hakikatnya merupakan konfrontasi antara pandangan-pandangan yang berdiri atas dasar yang oleh para penganutnya dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak dapat dipertanyakan lagi. Bagi Oevaang Oeray [dan faksi Pancasila], dasar pemikiran yang terpenting ialah kesatuan rakyat Indonesia berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam perumusan Pancasila. Oevaang Oeray dan faksinya, sebagaimana juga faksi lain, mengklaim bahwa dasar pemikiran mereka mencakup unsur-unsur baik dan menolak unsur-unsur buruk dari pandangan lain. dalam memperdebatkan kebenaran posisi masing-masing, Oevaang Oeray dan para pembicara lain sering mengacu pada dasar pemikiran sendiri. Ini mungkin meyakinkan bagi orang-orang yang sepaham, tetapi tidak berdaya mempengaruhi posisi lawan. Konfrontasi yang tak kenal kompromi, bahkan sering menjadi konfrontasi antagonistis antarpandangan ideologis, mengakibatkan polarisasi dan perseberangan pandangan yang semakin tajam.

Dalam perdebatan mengenai Dasar Negara pada 1957, sebagian besar anggoa Konstituante mendukung pemikiran bahwa hak-hak azasi perlu dijamin dan kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi. Sepanjang seluruh persidangan Konstituante, Oevaang Oeray dan banyak anggota lain mengetengahkan ciri-ciri konstitusional selama mereka tidak terjebak oleh dogma ideologis atau tidak ditekan oleh pihak lain. Dalam perdebatan mengenai Dasar Negara, ditekankan kontras dengan negara berdasarkan Islam, sedangkan kontras dengan negara integralistik agak jarang dibicarakan.

Dengan membandingkan ciri-ciri negara konstitusional dengan negara integralistik dan negara Islam, maka tampaklah bahwa negara konstitusional menjadi aspirasi mayoritas anggota Konstituante. Pertama, banyak di antara anggota Konstituante mengakui bahwa hak-hak azasi manusia merupakan hal paling penting yang tidak diberi tempat karena dianggap tidak penting dalam negara integralistik. Kedua, banyak di antara para anggota yang membela kebebasan berpendapat serta persamaan di hadapan hukum yang bebeda dengan negara Islam yang dibentuk oleh umat Islam. Oevaang Oeray [periksa Risalah, 1957/V: 479—482] menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu kebebasan manusia yang paling dasar, karena itu harus didasarkan pada azas kebebasan individu yang paling utuh, dan azas bahwa menganut agama merupakan keyakinan pribadi.

Oleh karena itu, kata Oevaang Oeray, tidak manusia atau pemerintahan di dunia ini yang memiliki hak untuk menentukan bagaimana manusia harus beribadat kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang mempunyai hak itu dan dapat menjatuhkan hukuman apabila manusia menyimpang dari norma agamanya. Oevaang Oeray takut akan akibat yang akan terjadi apabila kedaulatan Tuhan yang suci dicampur, diatur, atau diberikan kepada manusia yang akalnya terbatas dan dapat melakukan tindakan kriminal, jahat, atau cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa pelbagai peristiwa buruk terjadi karenanya. Oevaang Oeray menolak pandangan bahwa pemerintah harus mewajibkan rakyatnya untuk memenuhi tugas-tugas agama karena ini tidak hanya melanggar kebebasan beragama dan kodrat manusia tetapi juga merendahkan agama itu sendiri. Kewajiban agama seharusnya dijalankan dengan ikhlas karena keyakinan pribadi yang utuh, tanpa paksaan dari siapa pun termasuk dari pemerintah. Ia dengan tandas menegaskan bahwa kebebasan beragama dan berpendapat membawa implikasi kebebasan untuk berpindah agama.

HAK AZASI MANUSIA

Sebelum perdebatan utama mengenai HAM, sudah dilangsungkan diskusi mengenai HAM antara 20 Mei dan 13 Juni 1957 dalam pertemuan Konstituante untuk mengumpulkan materi-materi pokok yang perlu dimasukkan ke dalam UUD dan mengenai struktur UUD. Dalam diskusi pendahuluan tersebut tampak jelas bahwa masalah HAM dianggap oleh semua anggota sebagai hal yang paling penting dan menjadi unsur tak terpisahkan dari negara konstitusional. Dari diskusi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa HAM oleh semua anggota dianggap mempunyai makna mendasar bagi UUD yang tidak kurang penting dari falsafah negara. Semua pembicara, termasuk Oevaang Oeray, sepakat bahwa berbagai hak azasi manusia perlu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bab khusus dalam UUD.

Oevaang Oeray termasuk di antara mereka yang berpendapat bahwa bab tentang HAM sebaiknya mendahului bab-bab UUD lainnya. Perdebatan mengenai HAM pada 1958 dapat dilihat sebagai perincian dari kesepakatan dasar ini. Diskusi ini merupakan pernyataan yang paling jelas, paling bebas, dan paling baik mengenai kesadaran tentang HAM di kalangan rakyat Indonesia. Dalam Sejarah Indonesia, diskusi ini tampil sebagai monumen yang menandakan pemikiran politik yang bebas dan beradab. Sejumlah besar pembicara, tak terkecuali Oevaang Oeray, menunjukkan bahwa bagi mereka HAM merupakan bagian inti, bahkan dapat dianggap sebagai sebab, dari aspirasi nasional akan kemerdekaan.

Terlihat bahwa berbagai partai dalam Konstituante memandang HAM dari perspektif yang berbeda-beda. Golongan nasionalis, Oevaang Oeray di dalamnya, memandang HAM bukan sekadar sebagai alat dalam perjuangan melawan kekuasaan kolonial tetapi juga sebagai bagian dari kebudayaan pribumi serta kepribadian nasional. Partai-partai keagamaan—Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Hindu Bali—menganggap HAM sebagai anugerah dari Tuhan yang harus dibina da dihormati. Kaum komunis dan nasionalis radikal melihat HAM sebagai alat untuk melawan kapitalisme dan kolonialisme, sedangkan kaum sosial-demokrat berusaha menunjukkan bahwa HAM merupakan prasyarat untuk membangun masyarakat yang manusiawi dan demokratis.

Hal yang paling penting dicatat di sini adalah bahwa semua partai, tak terkecuali Partai Persatuan Daya, dengan pandangan ideologis yang berbeda-beda, sepakat bahwa HAM memiliki makna terpenting dan bahwa setiap partai, dari sudut pandang masing-masing, memberikan sumbangan khusus untuk HAM. Semua fraksi dalam Konstituante setuju bahwa HAM harus dimasukkan ke dalam bab khusus yang mempunyai kedudukan sentral dalam batang tubuh Undang Undang Dasar. Dalam sebuah perundingan Konstituante, Partai Persauan Daya dan partai politik lainnya tidak terdapat satu pun pandangan dari mereka yang menentang atau tidak peduli terhadap faham HAM yang universal.

Konstituante membahas HAM empat kali. Diskusi pertama berlangsung dalam sidang pleno 20 Mei hingga 13 Juni 1958 bersamaan dengan diskusi mengenai materi yang akan dimasukkan ke dalam UUD. Selama perdebatan ini, HAM secara aklamasi dianggap mempunyai makna mendasar dan sidang pleno sepakat untuk memasukkan HAM ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam Panitia Persiapan Konstitusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Konstitusi. Subkomisi yang terdiri atas 43 anggota ini, Oevaang Oeray salah seorang anggota ini, dibentuk 21 Agustus 1957 dengan tugas menyelenggarakan diskusi awal tentang HAM. Subkomisi ini mengadakan beberapa rapat antara 21 Agustus dan 2 September 1957, dan hasil-hasil pertimbangannya disampaikan kepada Panitia Persiapan Konstitusi pada 10 September 1957. Panitia Persiapan Konstitusi membicarakan laporan ini pada 23 September 1957, dan menyusun laporannya sendiri pada hari yang sama [Risalah, 1958/I: 251—253].

Diskusi ketiga dan yang paling penting tentang HAM berlangsung antara 28 Januari dan 11 September 1958. Diskusi ini terdiri atas dua babak. Babak pertama berlangsung dari 28 Januari hingga 13 Februari, yang kedua 11 Agustus hingga 11 September 1958. Secara keseluruhan berlangsung 30 sidang dengan jumlah pembicara, salah seorang pembicara adalah Oevaang Oeray, sebanyak 113 orang yang berasal dari semua fraksi yang ikut serta. Perbincangan ini sempat dihentikan sementara karena perdebatan beralih pada topik lain seperti perbaikan tata tertib, bahasa resmi, azas-azas direktif kebijakan negara, birokrasi, dan keuangan negara. Beranekaragamnya pandangan dan argumen mengenai HAM dalam Konstituante merupakan pernyataan yang paling jelas dan luas dalam perdebatan utama ini. HAM diangkat sebagai bahan diskusi untuk keempat dan terakhir kalinya pada 1959, ketika semakin jelas bahwa Konstituante tidak akan sanggup menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru dan didesak untuk menyetujui usaha kembali ke UUD 1945. Pada saat itu dituntut supaya keputusan mengenai HAM yang sudah dirumuskan dimasukkan ke dalam UUD 1945.

Berbeda dengan suasana menyedihkan akibat kegagalan mencapai mufakat mengenai falsafah negara, perdebatan mengenai HAM dimulai dengan semangat yang tinggi dan optimisme. Sering dikatakan bahwa pekerjaan Konstituante tidak akan dapat diselesaikan selama masih terjadi perdebatan mengenai Dasar Negara dan sebelum persoalan sekitar falsafah negara diatasi. Tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh Oevaang Oeray, apa yang terjadi membuktikan bahwa kemajuan pekerjaan Konstituante tidak tergantung pada penyelesaian masalah Dasar Negara. Dokumentasi yang ada menunjukkan bahwa Konstituante sanggup meneruskan pekerjaannya mengenai HAM tanpa menanti hasil akhir perdebatan mengenai falsafah negara. pada awal diskusi mengenai HAM, beberapa orang anggota, tak terkecuali Oevaang Oeray sendiri, tidak dapat menutupi kegembiraannya atas dicapainya mufakat oleh Subkomisi HAM serta Panitia Persiapan Konstitusi.

Kebanyakan pembicara yang menganut pandangan bahwa HAM mempunyai landasan dalam agama mengacu pada Syariat Islam, atau Negara Islam di bawah Nabi Muhammad. Kebanyakan juru bicara Islam tentang Hak-hak Azasi Manusia bukan politisi berpendidikan Barat, tetapi ahli agama yang dididik di psantren, meskipun mereka telah manusialah yang menyerap pemikiran modernisme Islam. Menurut pandangan mereka, HAM tidak hanya diakui oleh Islam, tetapi agama Islam-lah yang pertama-tama memperkenalkan konsep HAM tersebut. Pembicara lain memberi justifikasi HAM dengan mengacu pada kodrat manusia. Mereka memandang manusia per orangan sebagai subjek utama dari diskusi mengenai HAM karena hanya manuaislah yang memiliki hak-hak tersebut. Oleh sebab itu, berbicara tentang HAM tidak lain berbicara mengenai manusia. Beberapa orang pembicara mengajukan landasan sosiologis bagi Hak Azasi Manusia dengan memperhatikan akar HAM dalam dinamika kehidupan sosial dan politik, dalam perjuangan melawan penindasan, dalam perlawanan terhadap rezim politik yang represif. Dalam pandangan ini, kesadaran manusia tidak sekadar berasal dari kodrat manusia melainkan juga tergantung pada perkembangan masyarakat.

Dapat dilihat bahwa pengakuan atas HAM di Indonesia berpangkal dari berbagai pijakan ideologi dan nilai. Semua pembicara, termasuk Oevaang Oeray, yang mewakili keyakinan politik dan dasar nilai tetap mendukung pentingnya HAM. Penting untuk dicatat bahwa perbedaan tidak menghambat tercapainya kesepakatan konstitusional, sebagaimana dalam perdebatan mengenai falsafah negara. meskipun demikian, tidak berarti bahwa perbedaan dengan cara justifikasi hak-hak azasi tersebut tidak relevan. Seperti terlihat kemudian, berbagai cara justifikasi itu mempunyai dampak terhadap tafsiran mengenai beberapa hak tertentu, terutama mengenai kebebasan beragama, hak milik pribadi, serta hak-hak sosial. Dalam kontroversi mengenai hak-hak warga negara dibandingkan dengan hak-hak warga negara dan orang asing, perbedaan dasar ideologis juga memainkan peranan.

Tidak seorang pun di antara anggota Konstituante yang menegaskan bahwa HAM, sebagaimana anggapan umum, hanya merupakan pemikiran Barat, dan bahwa hak-hak tersebut tidak dapat diakui oleh Indonesia tanpa perubahan. Meskipun sekarang pendirian resmi, yang karena wawasan dunia yang terbatas, menekankan bahwa Indonesia mempunyai ukuran dan nilai sendiri mengenai HAM yang berdasarkan Pancasila, penting dicatat bahwa di Konstituante tidak seorang pun yang menganut pandangan seperti ini. Sifat universal HAM diajukan degan merujuk pada pengakuan terhadap HAM oleh berbagai kebudayaan pada berbagai zaman. Beberapa orang pembicara, salah seorangnya Oevaang Oeray, menyebutkan bahwa HAM juga diakui dalam kebudayaan Indonesia. karena itu, para pembicara menyimpulkan bahwa HAM mempunyai makna universal.

Banyak di antara para pembicara yang merujuk pada pengalaman HAM di Barat. Mereka menyebut falsafah politik dan sejarah Barat bukan karena menganggap bahwa daya pikir Barat lebih unggul dan karena itu perlu dijadikan contoh. Bagi mereka, hal yang paling penting ialah kenyataan bahwa perumusan HAM dalam konteks sejarah tertentu merupakan hasil perjuangan melawan penindasan. HAM berfungsi untuk memberi legitimasi bagi perlawanan ini, dan merupakan hasil dari upaya melawan kekuasaan penindas. Mereka yang merujuk pada pengalaman Barat pada umumnya melakukannya untuk menyoroti keadaan yang memungkinkan perumusan HAM, dengan berpegang teguh pada pengertian bahwa HAM juga memiliki fungsi menentang penindasan politik di Indonesia. nyatanya, kebanyakan di antara pembicara ini juga mengacu pada pergerakan nasional Indonesia serta revolusi Indonesia yang, menurut mereka, merupakan usaha untuk mewujudkan HAM bagi rakyat Indonesia. bagi para pembicara ini, sifat universal HAM tidak dapat ditolak karena di mana-mana kesadaran akan HAM mendorong rakyat untuk melawan penindasan dan memberi perlindungan dari penindasan tersebut.

Pengakuan terhadap HAM dianggap sebagai hasil perkembangan umat manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. HAM melampaui batasan tempat, ras, agama, dan ideologi politik. Kenyataan bahwa HAM untuk pertama kalinya diakui secara formal di negara-negara Barat hanya berarti bahwa kondisi sosial dan politik yang memungkinkan perkembangan kesadaran akan hak-hak ini telah tertanam di sana lebih dulu daripada di tempat-tempat lain. Pengalaman Barat yang paling sering dijadikan bahan rujukan ialah perkembangan HAM sejak abad ke 17 di Inggris, Amerika, dan Prancis. Pengakuan terhadap HAM secara umum dianggap sebagai hasil perlawanan rakyat terhadap kekuasaan mutlak yang menindas. Di samping rujukan eksplisit pada pengalaman HAM di Barat sebagai hal yang relevan bagi Indonesia, juga terdapat rujukan implisit pada warisan Barat, misalnya dalam persetujuan faham kedaulatan rakyat dan teori negara sebagai hasil kontrak sosial. Rujukan pertama diketengahkan oleh Hamid Algadrie [PSI] dan yang kedua oleh Oevaang Oeray.

Oevaang Oeray menarik makna universal HAM dari demokrasi, yaitu kontrak sosial. Baginya, negara didirikan atas kehendak manusia untuk bersatu dengan cara hidup bermasyarakat di wilayah tertentu. Masyarakat ini merupakan organisasi moral yang berkewajiban memajukan kepentingan bersama para anggotanya. Negara tidak boleh menolak sejarah pembentukannya, dan juga tidak boleh melupakan tujuan pembentukannya itu, yaitu demi kemakmuran warga negaranya. Negara, demikian tegas Oevaang Oeray [periksa Risalah, 1958/II: 785—786] tidak boleh mengorbankan warga negaranya demi kemuliaanya sendiri. Kekuasaan negara tidak mutlak tetapi dibatasi oleh hak-hak subjektif yang dimiliki manusia sebagai manusia per orangan, yang tidak dilepaskannya ketika bergabung dalam masyarakat—negara, dan yang harus diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara.

Konsekuensi pertama dari pengakuan terhadap Hak-hak Azasi Manusia ialah pengertian yang lebih mendalam akan makna demokrasi. HAM membentuk landasan demokrasi. Pada saat membentuk negara, manusia tidak melepaskan hak-hak azasinya, seperti hak untuk menentukan kehidupan sendiri. Dengan demikian, rakyat secara keseluruhan mempertahankan hak menentukan ini bersama dengan organisasi kehidupan kolektif di dalam negara. Oevaang Oeray merumuskan masalah-masalah tersebut dengan sangat jelas. Menurutnya, negara timbul dari kehendak bebas manusia-manusia yang bersatu dalam organisasi moral yang meliputi wilayah tertentu. Organisasi moral ini bertujuan untuk melayani kepentingan koletif serta terciptanya kemakmuran bersama. Untuk mencapai tujuan ini, negara dilengkapi wewenang. Peralihan hak, kekuasaan, dan wewenang dari per orangan kepada negara tidak pernah mutlak, dan karena itu, demikian ditegaskannya lagi, kekuasaan negara juga tidak pernah bersifat mutlak. Tidak bleh terjadi keadaan di mana warga negara hanya menjadi cara untuk mencapai kejayaan negara.

Oevaang Oeray menyimpulkan:

“… Marilah kita menyerahkan/memberikan hak kekuasaan yang sebesar-besaranya kepada Negara Republik Indonesia kita ini, sesuai dengan seruan zaman modern ini, tetapi mari pulalah kita, sesuai dengan sejarah dan tujuan terbentuknya sesuatu negara, membatasi diri pula dalam soal penyerahan dan pemberian hak kekuasaan itu, yakni terbatas pada hak-hak subjectief yang secara mutlak memang wajib dimiliki oleh seseorang manusia sebagai manusia dan hak-hak yang tidak boleh digolongkan ke dalam lingkungan kekuasaan negara, malahan hak-hak ini berupa hak yang wajib diakui, dihormati, dan dilindungi oleh negara, tak dapat diganggu-gugat. Hak-hak ini tidak mungkin diserahkan/dipindahkan kepada siapa saja, karena hak-hak ini adalah hak yang tidak dapat dipisahkan dari masing-masing individu sebagai manusia …” [Risalah, 1958/II: 786]

Dengan tegas Oevaang Oeray menekankan bahwa:

“… Sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap HAM di dalam Undang Undang Dasar, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak ini, maka Republik Indonesia harus benar-benar didasarkan pada kedaulatan hukum [menjadi Rechstsstaat]. Tetapi, sebuah negara, meski sekeras apa pun mengumumkan dirinya sebagai Rechstsstaat tanpa membatasi kekuasaannya untuk menjamin kedudukannya sebagai Rechstsstaat, semata-mata akan menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan …” [Risalah, 1958/II: 785—787]

Meskipun terjadi kontroversi sekitar masalah HAM dan hak-hak warga negara, juga sekitar agama dan HAM, kesepakatan yang kukuh dalam Konstituante mengenai makna HAM untuk masyarakat yang adil dan makmur terlihat jelas ketika diskusi beralih ke sifat programatis HAM. Pandangan yang berbeda-beda mengenai sifat programatis HAM umumnya saling mengisi, memperkuat atau memperinci makna dan konsekuensi programatis dari pengakuan terhadap HAM bagi negara konstitusional.

Oevaang Oeray [lihat Risalah, 1958/II: 792] secara implisit bereaksi terhadap kebijakan kolonial yang diskriminatif terhadao subjek kolonial, yang dibagi dalam tiga golongan, pribumi, Timur Asing, dan Eropa, seperti ditetapkan dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling. Ia berpendapat bahwa setiap warga negara harus memiliki hak dan kewajiban yang sama. Penggolongan warga negara berdasarkan agama, ras, kelahiran, atau keturunan, yang mengakibatkan diskriminasi dan privilasi bagi golongan tertentu, harus dihapus. Oevaang Oeray apa menekankan bahwa tidak boleh ada perbedaan antara pribumi dan non-pribumi.

Oevaang Oeray juga merujuk pada tindakan preventif yang menindas pada zaman kolonial yang didasarkan pada ordonansi untuk mempertahankan apa yang disebut rust en orde [keamanan dan ketertiban]. Argumen legal ini dapat diterapkan secara sewenang-wenang untuk menekan setiap kegiatan. Ia menegaskan [periksa Risalah, 1958/II: 974] bahwa hukum tidak boleh mengizinkan tindakan preventif apa pun yang akan membatasi pelaksanaan HAM seperti kebebasan beragama, kebebasan memperoleh pendidikan, dan kebebasan berbicara. Ini tidak mengurangi legitimasi pembatasan represif oleh pemerintah terhadap akibat-akibat yang merugikan yang timbul karena pelaksanaan hak-hak azasi atas dasar hukum pidana yang tentu akan menetapkan dengan jelas apa saja yang tidak diizinkan.

Perlindungan bagi lawan politik pemerintah terhadap penangkapan sewenang-wenang dan bentuk penindasan serta intimidasi lain pada hakikatnya merupakan inti permasalahan konstitusional. Oevaang Oeray dan beberapa orang pembicara menunjuk pada kenyataan bahwa sejak kemerdekaan Indonesia diakui, banyak orang yang dianggap sebagai penentang kebijakan pemerintah ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Represi pada masa kolonial, Oevaang Oeray mengatakan bahwa banyak pemimpin Indonesia pada masa kolonial menjadi korban pembatasan preventif yang konon didasarkan pada kepentingan keamanan dan ketertiban umum. Karena peraturan kolonial seperti itu bisa ditafsirkan secara amat luas, peraturan tersebut telah digunakan untuk berbagai macam tujuan dan tindakan oleh pemerintah. Karena itu, ia menyerukan supaya tidak ada ketentuan yang memuat pembatasan preventif terhadap HAM.

Oevaang Oeray menyatakan:

“… Pengawasan terhadap kebebasan masing-masing manusia untuk menjalankan/melaksanakan hak-hak azasinya, atas pengertian repressief toezicht, yang dijalankan oleh penguasa tidak berdasarkan ayat “demi kepentingan rust en orde, tetapi wajibnya hanya demi kepentingan (demi mengingat adanya) hukum pidana umum [algemeen strafrecht]”, yang dengan sendirinya tegas dan jelas memberi pengertian tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dibolehkan …”

Sebagai kesimpulan hasil-hasil pemungutan suara untuk kelompok 24 hak azasi manusia, sidang pleno memutuskan perumusan konkret bagi 19 hak azasi manusia untuk dimasukkan oleh Panitia Persiapan Konstitusi ke dalam pasal-pasal rancangan Undang Undang Dasar baru. Di samping itu, sidang pleno menugaskan Panitia Persiapan Konstitusi untuk merumuskan pasal-pasal Undang-Undang Dasar mengenai tigak hak azasi manusia [hak untuk dihormati sebagai perorangan di muka hukum, hak atas perlakuan sama dalam hukum, dan hak untuk tidak dijadikan budak]. Kedua hak azasi manusia lainnya [hak atas kebebasan beragama termasuk hak untuk berpindah agama, serta hak untuk menyuarakan dan menyebarluaskan agama yang dianut] dikembali pada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dicarikan perumusan yang dapat diterima semua partai karena terdapat perbedaan pendapat mengenai isi hak-hak tersebut. Ketentuan konstitusional tambahan mengenai HAM yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Konstitusi. Sesudah sidang pleno 1958, Panitia Persapan Konstitusi, sesuai dengan kompetensinya yang telah diperluas sejak 8 September 1958, bersidang untuk merumuskan sejumlah peraturan konstitusional sebagai tambahan pada 19 hak yang diterima sidang pleno.

Pada 9 Desember 1958 Panitia Persiapan Konstitusi melengkapi keputusan mengenai rancangan pasal-pasal UUD mengenai HAM dan hak-hak serta kewajiban warga negara yang berisi ketentuan mengenai 35 hak dan kewajiban dari daftar: a] ke 18 hak dan kewajiban warga negara, b] ke 13 hak warga negara yang dapat diperluas sampai mencakup orang yang bukan warga negara sebagai HAM, dan, c] kelima hak yang masih tersisa dari daftar 24 hak azasi manusia yang belum diajukan ke sidang pleno untuk diputuskan melalui pemungutan suara. Panitia Persiapan Konstitusi berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal Undang Undang Dasar. Tetapi, mengenai 13 hak dan kewajiban masih terdapat perbedaan karena koalisi Pancasila dan Islam di dalam panitia tersebut masih mempertahankan pasal-pasal konstitusional versi masing-masing.

Sehubungan dengan kompetensi yang baru diperolehnya sebagai penyusun rancangan pasal-pasal UUD, maka ke 22 hak yang didukung secara aklamasi dengan sendirinya merupakan keputusan Konstituante. Andaikan hak-hak tersebut sempat diajukan ke sidang pleno, maka hak-hak ini, yang telah mendapat kepastian dukungan koalisi Pancasila maupun Islam, dapat dipastikan akan diterima secara aklamasi. Kedua versi mengenai 13 hak dan kewajiban tidak mengancam hakikat hak-hak perorangan yang bersangkutan. Karena itu, Oevaang Oeray beberapa waktu kemudian pernah mengasumsikan bahwa perumusan-perumusan yang berbeda, kadang-kadang mengenai pemikiran di balik hak tertentu [dengan mengacu pada firman Tuhan dan martabat manusia atau sifatnya yang implisit tidak akan menghalangi tercapainya kompromi yang dapat diterima oleh koalisi Pancasila maupun koalisi Islam, seandainya sidang pleno sempat memperbincangkannya …

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar