Jumat, 13 April 2012

PARTAI PERSATUAN DAYAK, SEBUAH HISTORIS

PARTAI PERSATUAN DAYAK, SEBUAH HISTORIS

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD [Din Osman]

ELIT DAN POLITIK

Sejak pembentukan Dewan Borneo [Kalimantan Barat] 22 Oktober 1946, ditetapkan Dewan ini beranggota 40 wakil penduduk. Dalam Dewan melibatkan orang Dayak sebagai anggota, jumlah penduduk Dayak mencapai 42 persen dari jumlah penduduk Kalimantan Barat. Proses ini salah satu faktor bangkitnya suku-suku Dayak dari keterbelakangan penduduk lainnya. Dalam kalangan pemerintahan diangkat beberapa pegawai Dayak menduduki jabatan, beberapa di antaranya masih menuntut pendidikan.

Di Kota Pontianak didirikan kantor yang mengurusi masalah urusan Dayak dipimpin Johanes Chrisostomus [JC] Oevaang Oeray. Pengaruhnya begitu besar, kemudian membentuk Persatuan Daya [kemudian Dayak] 1 Januari 1947 dan mempunyai cabang hampir seluruh Kalimantan Barat sedikitnya beranggota 50.000 orang.

Maksud dan tujuan semula Persatuan Dayak menyadarkan orang Dayak kedudukannya dari ketertinggalan mereka. Usaha ini direspon positif, perhatian serius Sultan Hamid II, menyelesaikan permasalahan Dayak membentuk lembaga pendidikan dan memberikan pengajaran serta pendidikan. Saat itu dikenal beberapa elit Dayak direkrut Hamid II duduk mewakili golongan mereka dalam Dewan Borneo Barat, antaranya JC Oevaang Oeray, AF Korak, JAM Linggie, A Mamoi, FC Palaunsoeka, M Th Djaman, CJ Impan, PF Bantang, PJ Denggol serta Baroamas Djabang Balunus [HS Masukadjanting].

Diakui sepanjang rezim pemerintahan Soekarno, dan Hamid II di Kalimantan Barat, orang Dayak menikmati kebebasan lebih baik di bidang politik. Kebijaksanaan elit tersebut memungkinkan orang Dayak secara bebas berorganisasi, khususnya lewat Persatuan Dayak [PD]. Persatuan [kemudian Partai] Dayak disebutkan berdiri 1 Oktober 1945, embrionya dihasilkan melalui kesepakatan yang dibuat dalam retret Guru Agama Katolik di Sanggau Kapuas 1941.

Dalam Pemilihan Umum lokal 1955, Partai Persatuan Dayak [Partai PD] meraih suara signifikan sebagaimana Masyumi, kemudian mengantarkan Oevaang Oeray sebagai gubernur pertama Kalimantan Barat. Bersamaan Moses Thadeus [M Th] Djaman, Gaudiensius Pacifikus [GP] Djaoeng, Anastasius Sjahdan dan Aloysius Djelani dipilih sebagai bupati di masing-masing kabupaten Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Pontianak.

EMBRIO

Persatuan Dayak didirikan di Putussibau Kapuas Hulu oleh Fransiskus Connradus [FC] Palaunsoeka, 5 Oktober 1945, semula bernama Dayak In Action [DIA] diketuai Palaunsoeka, dengan sekretaris Rafael Serang. Gagasan didirikannya Persatuan Dayak berdasar pertemuan para guru Agama Katolik sekalimantan barat di Sanggau Kapuas, 1941. Pada tahun itu Oevaang Oeray, salah seorang siswa Seminari Menengah Santo Paulus, Nyarumkop, Singkawang, menulis surat kepada para guru sekolah-sekolah Katholik yang mengadakan retreat tahunan mengajak mereka peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak.

Pemikiran Oevaang Oeray disambut baik para peserta retreat yang dipimpin para tokoh pendidik Khatolik seperti AF Korak, JR Gilling dan M Th Djaman. Dari pertemuan ini dicetuskan kebulatan tekad menyatakan seluruh peserta retreat bersepakat memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui perjuangan politik. Sementara itu, dampak dari surat yang ditulisnya, Ovaang Oeray, dikeluarkan dari Seminari Menengah Santo Paulus, Nyarumkop, dinilai terlibat terlalu jauh dalam urusan politik praktis.

Peristiwa ini embrional Partai Persatuan Dayak [PD] kemudian, yang sebelumnya didahului kelahiran Dayak In Action [DIA] atau Gerakan Kebangkitan Dayak. Tujuan didirikan Dayak In Action mempersatukan masyarakat Dayak dari berbagai macam subsuku, juga memperjuangkan hak dan martabat masyarakat Dayak dari kolonialisme dan untuk keadilan sosial di dalam masyarakat.

Pada 1946 beberapa daerah ranting meminta memindahkan kedudukan Dayak in Action ke Pontianak, 1 Januari 1947 Dayak In Action dipusatkan di Pontianak dan menjadi Persatuan Dayak [PD] diumumkan serentak ke seluruh Kalimantan Barat. Disebutkan, tujuan dari Persatuan Dayak antara lain ikut mempertahankan kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia, mewujudkan suatu susunan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah yang di bentuk berdasarkan kehendak rakyat, ikut melaksanakan keadilan sosial dalam masyarakat. Lebih penting untuk perbaikan nasib Dayak mengangkat derajat penghidupan, mempertinggi pengetahuan, menghapuskan kesengsaraan dan penderitaan.

Kerangka itu, PD maksimal memperkuat semangat persaudaraan, memperkuat keinsyafan dan keyakinan atas tenaga sendiri, berpegang semboyan “atas tenagamu, tergantung nasibmu”. Juga, memperkuat keinsyafan dan keyakinan arti dan faedah kerja gotong royong dan saling bantu. Dalam hal politis, menganjurkan cara bekerja sistematis dan organisatoris, menjalankan ikhtiar tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah, maupun hukum adat yang berlaku.

SENJAKALA

Perkembangannya, pengurus inti Persatuan Dayak [PD], belakangan menjadi Partai Persatuan Dayak [Partai PD], masing periode 1947-1958 Ketua Umum A Djelani, Sekretaris M Anai [1947-1952, kemudian A Sani 1952-1958] dan Bendahara M Nyabu. Seterusnya Kongres PD di Sintang, kepengurusannya Ketua Umum FC Palaunsoeka, Wakil Ketua Saiyan Tiong, Sekretaris Victor Oendoen dan Bendahara M Nyabu. Pemilu 1955 Partai Persatuan Dayak partai lokal dalam DPR Daerah Swapraja Tingkat I [Daswati I] Kalimantan Barat, dianalogkan, meraih kursi terbesar kedua setelah Masyumi.

Perkembangan kemudian, masa kepemimpinan Palausoeka, Partai Persatuan Dayak bergabung dengan Partai Katolik. Dalam periode ini, Partai Dayak menempatkan kader terbaiknya menduduki jabatan penting di Kalimantan Barat. Posisi politis dan strategis antara lain JC Ovaang Oeray Kepala Daerah, JR Giling Bupati Kapuas Hulu, GP Djaoeng Bupati Sintang, M Th Djaman Bupati Sanggau dan A Djelani Bupati Pontianak, dan FC Palaunsoeka anggota parlemen dari Kalimantan Barat. Para elit Dayak dalam Partai Persatuan Dayak semasa itu berpikir ke depan, mereka merumuskan berbagai aspek seperti ekonomi, kesejahteraan, sosial, pendidikan, dan lainnya.

Zaman keemasan Partai PD tak berlangsung lama. Setelah Dekrit Presiden, 5 Juli 1959, seluruh partai politik harus memiliki cabang sedikitnya di tujuh propinsi untuk dapat melanjutkan aktifitasnya, sebagaimana digariskan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959. Mengingat itu, dengan sendirinya Partai PD tidak dimungkinkan bertahan hidup, maka para elit Dayak di dalamnya memilih menggabungkan diri ke berbagai kekuatan politik yang ada, sebagian besar mantan aktifis Partai PD bergabung dengan Partai Indonesia [Partindo] dan sebagian lain ke sejumlah partai kecil lainnya.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar