Jumat, 13 April 2012

BANGKIT—RUNTUHNYA PARTAI PERSATUAN DAYAK

BANGKIT—RUNTUHNYA PARTAI PERSATUAN DAYAK

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD [Din Osman]

Aktor penting dalam emansipasi politik Dayak adalah Persatuan Dayak yang didirikan pada 1945. Partai Persatuan Dayak mengikuti Pemilu 1955 dan 1958 dan berhasil meraih kursi yang mayoritas, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten. Sebagai konsekuensi dari pencapaian itu, seorang Dayak, JC Oevaang Oeray, berhasil dipilih menjadi gubernur dan empatorganisator Partai Dayak lainnya menjabat sebagai bupati. Beberapa di antara mereka menduduki kursi Badan Pemerintah Harian [BPH] atau mendapatkan tampuk pimpinan di legislatif setempat [Davidson, 2002: 93].

Pada 1941 para guru sekolah Katolik se-Kalimantan Barat berkumpul di Sanggau mengadakan retret [rekoleksi] tahunan. Saat retret berlangsung, seorang murid seminari di Nyarumkop, Oevaang Oeray, menulis surat terbuka kepada para peserta rekoleksi, isinya mengajak para guru memikirkan perbaikan nasib masyarakat Dayak yang terus dalam kondisi memprihatinkan. Di antara pemikiran diajukan, antara lain agar perbaikan nasib orang Dayak dilakukan melalui perjuangan organisasi politik.

Gagasan yang dikemukakan Oevaang Oeray ini mampu memberikan inspirasi para peserta, pada penutupan rekoleksi yang dipimpin AF Korak, JR Gielling Laut dan M Th Djaman, melahirkan kebulatan tekad membentuk organisasi yang berfungsi memperjuangkan nasib Dayak di forum politik. Inilah embrio Partai Persatuan Dayak, didahului pembentukan Dayak In Action [DIA] sebagai wadah kebangkitan Dayak pada 3 Nopember 1945, sekitar 74 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. DIA tak terpisahkan dari pernyataan kebulatan tekad yang tercetus di Sanggau pada 1941. karena itu maka merupakan tonggak sejarah perjuangan dan kebangkitan Dayak.

DIA dibentuk dalam rapat para guru dan pemuka Dayak dipimpin FC Palaoensuka dan moderator Pastor A Adikarjana SJ. Pengurus awal DIA diketuai FC Palaoensuka, Sekretaris I Rapael Serang, Sekretaris II Hironimus Liwah, Bendahara WJ Pilang, dengan dua Pembantu FH Aboe dan SP Buga, keduanya perwira polisi. Dilengkapi tujuh Komisaris, masing-masing TA Apuk, MR Rudin, Jusuf Stor, LC Sami, JP Teladjan, SP Buga dan P Ransa.

Perkembangan kemudian, semakin meningkatnya perjuangan politik, 30 Nopember 1946 DIA dideklarasikan sebagai Partai Persatuan Dayak, dengan komposisi, Penasehat AF Korak, Pius Ungkang, A Djelani. Ketua Umum FC Palaoensuka, Ketua M Andjioe, Sekretaris I Rafael Serang, Sekretaris II Hieronimus Liwah, Bendahara WJ Pilang dan Pembantu FH Aboe dan SP Buga. Perkembangan politik semakin meningkat, dalam rapat paripurna partai di Putussibau 31 Desember 1946, aklamasi memindahkan kedudukan partai dari Putussibau di Pontianak dan membentuk Dewan Pimpinan Pusat dengan ketua umum JC Oevaang Oeray sejak 1 Januari 1947.

Pada 12 Mei 1947 Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa, JC Oevaang Oeray yang menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak, diangkat sebagai Degelijk Bestuur. Untuk lebih fokus pada jabatannya, Oevaang Oeray mengundurkan diri, maka jabatan ketua umum digantikan A Djelani, merangkap sebagai Kepala Kantor Urusan Dayak sejak 12 Mei tersebut. Kepengurusan terdiri dari Ketua Umum A Djelani, Wakil Ketua FC Palaoensuka, Sekretaris I A Syahdan, Sekretaris II Saiyan Tiong dan Bendahara M Nyabu. Pada Pemilu 1955 Partai Persatuan Dayak meraih suara terbanyak, mengungguli partai politik lainnya. Di DPR Daswati I Kalimantan Barat merebut 12 dari 30 kursi. Di DPR Daswati II di kabupaten memperoleh suara signifikan, bahkan di beberapa kabupaten tertentu meraih suara mayoritas, masing-masing Kabupaten Pontianak 13 dari 30 kursi, Sanggau 12 dari 19 kursi, Sintang 9 dari 16 kursi dan Kapuas Hulu 7 dari 15 kursi. Sedangkan di Kotapraja Pontianak 2 dari 15 kursi, Sambas 5 dari 28 kursi dan Ketapang 4 dari 15 kursi.

Perolehan suara yang diraih Partai Persatuan Dayak yang belum lama didirikan ini menjadi sensasi besar. Rata-rata bermodalkan tekad dan semangat yang menyala, mereka rata-rata adalah guru di sekolah rakyat dan mayoritas alumni murid seminari. Selain perolehan kursi di legislatif di Kalimantan Barat, Partai Persatuan Dayak juga berhasil menempatkan kadernya di Konstituante sebanyak 3 orang, JC Oevaang Oeray, A Djelani dan Wilibrordus Hitam [yang kemudian meninggal dan diganti Daniel Wedana Bengkayang], seorang anggora parlemen FC Palaoensuka, empat orang bupati masing-masing JR Gielling Kapuas Hulu, GP Djaoeng Sintang, M Th Djaman Sanggau dan A Djelani Pontianak serta mengantarkan Oevaang Oeray sebagai gubernur pertama Kalimantan Barat.

Mulai meningkatnya orang Dayak di tampuk pimpinan birokrasi dan legislatif setelah kesuksesan Partai Persatuan Dayak dalam pemilihan umum 1955 dan 1958 mengundang reaksi. Pada 1962, mereka yang non Dayak menuding Oevaang Oeray melakukan praktik pilih kasih dalam perekrutan dan pengangkatan pegawai. Pada awal 1966, Oevaang juga dituntut untuk turun dari jabatan gubernur dengan tuduhan telah menciptakan perpecahan etnis, sebagaimana Surat Resolusi untuk Meretul Gubernur Oevaang Oeray 8 Maret 1966 yang ditandatangani Abi Hurairah Fattah, Chris F Hetharia, PF Soedjimin dan Ismail Hamzah.

Perubahan politik dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membawa kepada perubahan sistem politik dari Demokrasi Liberl, berdasar UUD 1950, ke Demokrasi Terpimpin Orde Lama berdasar Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959. Partai Dayak kemudian mengalami kemunduran akibat dari kebijakan nasional yang berupaya mengurangi partai politik daerah dan akibat dari persaingan internal di dalam partai. Maka Partai Persatuan Dayak memilih membubarkan diri mengikuti Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 dan mengakhiri semua aktifitas politiknya penghujung 1963.

Sejak 3 Juni 1959, ketika Angkatan Darat memaksakan dihentikannya semua kegiatan politik, kegiatan partai politik baik di Jakarta maupun di daerah tunduk pada larangan itu. Rapat baru bisa diselenggarakan jika ada izin dari Panglima Daerah Militer setempat, dan setelah itu harus menyerahkan laporan rapat. Semua rapat umum dilarang dan bahkan konperensi partai yang bersifat tertutup terkadang tidak diizinkan dengan alasan yang dicari-cari. Meskipun larangan terhadap kegiatan politik masih ada, situasi sedikit lebih baik bagi partai setelah diumumkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 [Penpres 7/1959] 31 Desember 1959, tentang Sjarat-sjarat Penjerdehanaan Kepartaian.

Penpres ini menyederhanakan sistem kepartaian. Semua partai diwajibkan secara resmi menerima UUD 1945, Pancasila, dan Manifesto Politik [Manipol]. Manipol didasarkan pada pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1959 yang menentukan tujuan-tujuan ideologis Demokrasi Terpimpin. Dalam anggaran dasar semua partai juga harus disebutkan bahwa dalam mengejar cita-citanya, partai akan mengambil “... jalan damai dan demokratis”. Presiden diberi kekuasaan untuk “... mengawasi dan memerintahkan pemeriksaan keuangan partai termasuk harta milik dan usaha dagangnya”.

Dalam konsultasi dengan Mahkamah Agung, Presiden juga diberi kekuasaan untuk “.. melarang dan atau membubarkan partai-partai yang [1] ... tujuannya bertentangan dengan tujuan negara [2] yang terlibat dalam pemberontakan baik karena pemimpinnya terlibat atau karena bantuan yang nyata-nyata diberikan kepada pemberontak, kecuali kalau partai tersebut secara resmi mengutuk kegiatan-kegiatan para anggotanya tersebut [3] yang tidak memenuhi syarat-syarat menurut peraturan ini”.

Selain syarat-syarat ideologis, Penpres 7/1959 juga mewajibkan semua partai memiliki unit di tingkat propinsi dan cabang paling sedikit seperempat dari semua daerah tingkat satu dan tingkat dua sebelum 5 Juli 1959. Dalam peraturan selanjutnya [Mengenai Pengawasan Partai-partai, Peraturan Presiden 13/60], syarat ini diubah lagi, sehingga hanya partai dengan paling sedikit 150.000 anggota sebelum 5 Juli 1959 yang dapat diizinkan. Semua partai diwajibkan menyerahkan daftar semua organisasi afiliasinya ditambah daftar semua anggota sekurang-kurangnya enam bulan sekali.

Setelah selama beberapa bulan tercekam ketakutan besar mengenai eksistensinya, partai-partai bersama-sama menarik napas lega dengan diumumkannya Penpres 7/1959. Pada Januari dan Februari 1960, para pemimpin partai sekali lagi mulai berbicara secara terbuka tentang masalah politik. Masih merasa jengkel karena pemerintah sering menggunakan Dekrit Presiden, partai-partai bergabung untuk mencegah disetujuinya Anggaran Belanja Nasional 1960, rancangan undang undang pertama yang diserahkan kepada parlemen sejak UUD 1945 diberlakukan kembali pada Juli 1959.

Partai-partai menyerang anggaran belanja 1960 dengan alasan-alasan yang masuk akal. Anggaran itu mengusulkan pengeluaran sebesar Rp 46 miliar, lebih dari dua kali lipat pendapatan Rp 22 miliar yang dikumpulkan pada 1959. Bersamaan dengan anggaran belanja, pemerintah juga mengusulkan kenaikan pajak yang mencolok dan sejumlah besar hal-hal baru. Partai-partai menyetujui kenaikan antara Rp 33 sampai Rp 36 miliar tetapi tidak menyetujui banyak usulan perpajakan. Selain ketidaksediaan untuk memungut pajak-pajak baru yang dapat dimengerti, partai-partai juga prihatin bahwa sekalipun pajak-pajak baru disetujui, banyak pendapatan yang tidak dapat dikumpulkan, sehingga mengakibatkan defisit yang luar biasa. Bila ditelusuri kembali, dalam kasus ini partai-partai sangat benar.

Masa sepi dari gerakan antipartai tidak panjang umurnya. Pada 5 Maret 1960 pemerintah membubarkan parlemen, dengan Penpres 3/1960, dengan satu pukulan terakhir tersebut kekuatan-kekuatan antipartai telah melenyapkan satu-satunya penopang kelembagaan kekuasaan partai yang masih ada. Pada akhir bulan tersebut, sebuah parlemen baru, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong [DPR GR] diumumkan, beranggotakan 283 orang, 129 di antaranya mewakili partai politik dan 154 mewakili berbagai golongan fungsional. Sepintas kelihatannya seolah-olah pertarungan pada akhir 1958 tentang 50 persen wakil golongan fungsional akhirnya dimenangkan golongan antipartai. Dalam kenyataannya, justru sebaliknya. Kecuali 34 wakil dari Angkatan Bersenjata, sebagian besar wakil golongan fungsional berasal dari organisasi-organisasi yang erat berafiliasi dengan partai politik.

Meskipun secara resmi wakil-wakil partai berkurang, hampir semua anggota yang tersisa dari fraksi partai di parlemen lama dimasukkan ke dalam parlemen baru sebagai wakil golongan fungsional. Hanya anggota Masyumi, PSI, dan beberapa partai yang sangat kecil saja yang tersisih. Tak terkecuali Partai Persatuan Dayak.

Bubarnya Partai Persatuan Dayak, 1963, kembali ke masa sulit antar elit Dayak, terjerumus dalam pertentangan, di mana pada awal 1960-an, Partai Dayak terpecah menjadi dua faksi. Faksi terbesar dipimpin Gubernur Oevaang Oeray dan didukung kebanyakan birokrat dari kalangan Daya, bergabung dengan partai nasional, Partindo. Faksi lain dipimpin legislator Palaoensuka dan didukung mayoritas pendidik Katolik dan para pekerja gereja, bergabung dengan Partai Katolik. Perbedaan pendapat antara kedua tokoh utama Partai Persatuan Dayak beserta elit pendukungnya itu dalam rangka menyelamatkan perjuangan harkat dan martabat Dayak. Itulah sebabnya kedua elit tersebut masing-masing dengan pengikut dan simpatisannya menempuh jalan masing-masing.

Oevaang Oeray secara organisatoris melebur Partai Persatuan Dayak dan massa simpatisannya ke dalam Partai Indonesia, Partindo, dengan dasar pemikiran bahwa Partindo berazaskan nasionalisme, sehingga terbuka bagi semua golongan agama dan suku bangsa. Dengan demikian, demikian pandangan Oevaang, akan lebih luas dari Partai Persatuan Dayak itu sendiri, sehingga melalui Partindo menjadi alat perjuangan tujuan semula dibentuknya Partai Persatuan Dayak. Sementara FC Palaoensuka masuk Partai Katolik, dengan alasan Partindo adalah berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno yang diartikan sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Alasan lain kelompok ini bahwa Partai Katolik adalah sumber kebangkitan dan kemajuan Dayak, sehingga menurut mereka tepatlah jika Partai Persatuan Dayak melebur ke dalam Partai Katolik. Sesungguhnya, sebelum Partai Persatuan Dayak membubarkan diri, Palaoensuka yang duduk sebagai anggota Parlemen dan Ketua Umum Partai Persatuan Dayak telah lebih dahulu pindah ke Partai Katolik, sehingga oleh sementara pihak dipandang sebagai awal dari kemelut yang menelorkan perbedaan strategi.

Akibat perbedaan pandangan dan perbedaan jalur politik yang ditempuh setelah Partai Persatuan Dayak bubar, pengaruhnya bukan saja di bidang politik dan sosial, tetapi menjalar sampai ke dalam kehidupan masyarakat Dayak dalam kesehariannya, karena perbedaan keyakinan politik. Perpolitik Dayak di bawah Partindo mengalami kemunduran yang siginifikan setelah usaha kudeta gagal 1 Oktober 1965. Pertengahan 1966, atas inisiatif militer setempat, cabang Partindo Kalimantan Barat dilebur ke dalam Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia [IPKI], sebuah partai nasionalis yang di Kalimantan Barat jumlah pengikutnya sedikit dan didominasi elit Melayu. Setelah fusi tersebut, pertentangan yang disebabkan kepentingan etnis muncul di dalam partai ini. Anggota IPKI dari eksponen bekas Partai Persatuan Dayak dan Partindo merasa kecewa dengan struktur kepemimpinan partai di daerah ini.

Puncak friksi ini, 1968, Tan Husni Abdullah ketua IPKI mengeluarkan semua eksponen mantan Partindo dari IPKI, meski kemudian keputusan ini dibatalkan pimpinan nasional IPKI. Friksi ini dimanfaatkan pihak luar, sehingga eksponen IPKI yang berasal dari bekas Partai Persatuan Dayak dan Partindo dibujuk, lebih tepatnya diintimidasi, masuk Golkar. Golkar sendiri sudah lama mengikuti, dan memelihara, perkembangan perpecahan di dalam IPKI dan berusaha menarik dukungan elit dan masyarakat Dayak dari IPKI. Mulanya mengalami kegagalan, namun kesabaran rezim Orde Baru mulai pupus hingga awal 1971 mengingat pemilihan umum sudah semakin dekat. Januari 1971, rezim Orde Baru menangkapi para pemuka Dayak seta mantan anggota Baperki [Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia] dari kalangan Cina yang menolak masuk Golkar. Setelah itu, akhir Maret 1971, Oevaang Oeray mantan Gubernur Kalimantan Barat tokoh berpengaruh Dayak dipindahkan ke Jakarta. Tanpa keberadaan Oevaang Oeray, beberapa mantan pimpinan Partindo berpengaruh ditangkapi dan akhirnya bergabung dengan Golkar, antaranya A Djelani, P Anjiem, IA Kaping, A Sawa dan JM Linggie sejak 17 April 1971. Pada Pemilu 1971 Kalimantan Barat, Golkar memenangkan 21 kursi di propinsi atau lebih 66 persen dari keseluruhan kursi, sementara IPKI dan Partai Katolik, dua partai dengan basis dukungan dari Dayak, masing-masing memperoleh dua kursi.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar