Jumat, 13 April 2012

PONTIANAK TEMPO DOELOE: KOTA TANAH SERIBU

PONTIANAK TEMPO DOELOE: DARI KOTA TRADISIONAL

MENUJU KOTA KOLONIAL

Catatan Dokumenter Din Osman [Syafaruddin Usman MHD]

Disepakatinya perjanjian 5 Juli 1779 antara Sultan dan VOC, maka penataan Pontianak diatur secara bersama. Sultan memberikan VOC wilayah sebelah selatan keraton—dibatasi Sungai Kapuas. Pemberian ini meliputi areal 1.000x1.000 meter atau dikenal daerah Vierkante Paal untuk dijadikan tempat kegiatan Belanda dan seterusnya menjadi tempat kedudukan pemerintah Resident het Hoofd Westerafdeeling van Borneo, proses tersebut merupakan awal dari pendudukan VOC di Pontianak. Selanjutnya VOC membangun benteng Fort Mariannen sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan. Fort Mariannen memiliki tembok-tembok besar, kubu-kubu dan pintu gerbang. Pejabat, pegawai pemerintah dan tentara umumnya bermukim dalam benteng dan wilayah sekitarnya. Terbentuknya daerah Vierkante Paal telah menarik orang-orang Cina bermukim, keadaan ini ditunjang oleh letaknya berdekatan dengan pelabuhan sebagai pusat niaga [Al Qadrie, op cit hlm 78-79]. Ketika sultan menata Pontianak, para pedagang Melayu, Bugis dan lainnya ditempatkan tepian Sungai Kapuas yang paralel sebelah timur pusat kerajaan. Sebagaimana digambarkan Veth, bahwa para saudagar membangun pemukiman di sekitar Sungai Kapuas dan sepanjang Sungai Kapuas Kecil [Veth, op cit hlm 17]. Penataan pemukiman ini dimaksudkan sebagai cerminan dari kedekatan hubungan antara para pedagang dan sultan, sekaligus sebagai bentuk jaminan keamanan yang diberikan sultan. Kebijakan penetapan pemukiman kelompok-kelompok etnis yang berbeda ini adalah merupakan strategi pengelolaan area boundary dan cultural boundary antar kelompok sukubangsa dan berkaitan juga dengan pembagian lapangan pekerjaan, sehingga konsep ini dapat mencegah pertikaian atau konflik antaretnis [Purwana, op cit hlm 32].

Secara geografis pelabuhan Pontianak merupakan tempat pertemuan antara wilayah laut, sungai dan darat. Selain itu juga digunakan sebagai tempat untuk mengambil bekal bagi kebutuhan pelayaran dan menumpuk barang [Veth, 1854: 20—21]. Letak geografis berdekatan Malaka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Singapura sebagai pusat perdagangan, juga ditunjang letaknya di persimpangan sungai besar—Sungai Kapuas dan Landak—sebagai penghubung komoditi niaga dari pedalaman [hulu]. Jaringan-jaringan tersebut merupakan jalan atau kemudahan untuk menyelenggarakan transportasi niaga dan komunikasi. Sehingga sangat menguntungkan proses perkembangan pelabuhan dan Kota Pontianak ke arah pusat perdagangan terbesar di wilayah Kalimantan Barat. Mata uang sebagai alat tukar perdagangan sudah dikenal di Pontianak. Pemberlakuan mata uang Belanda berlaku sejak perjanjian 5 Juli 1779. Tidak mengherankan kalau kota dagang Pontianak terdapat berbagai mata uang dengan nilai yang berbeda-beda. Alat penukar perdagangan di Pontianak, di antaranya uang Cina dibuat pada abad XIV dari bahan tembaga berbentuk bulat dengan lubang persegi empat, orang Portugis menamakan caixa, dan mata uang Belanda dari bahan tembaga berbentuk bulat yang sisinya terdapat lambang Kerajaan Belanda dan VOC. Hal ini dimungkinkan para pedagang bumiputra dan asing telah mengenal dan membawa alat penukar sebagai alat transaksi dagang [Reid, 1993: 96—98].

Ramainya perdagangan di Pontianak telah menarik para pedagang bumiputra dan asing mengadakan hubungan dagang dengan sultan. Bahkan sebagian dari mereka tertarik menetap dan mendirikan pola-pola perkampungan di Pontianak—berorientasi nama asal daerah pendirinya—setelah mendapat izin dari sultan. Sejajar munculnya perkampungan kaum pedagang telah memberikan potensi besar bagi kemajuan Pontianak. Keadaan ini ditunjang oleh masyarakatnya secara tradisional berasal dari berbagai suku dan bangsa serta telah melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan, sehingga mereka mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan pelabuhan dan Kesultanan Pontianak. Adanya perkampungan pedagang telah menciptakan peningkatan kebudayaan bagi penduduk setempat dengan menerima unsur-unsur baru dari luar [Purwana, 2004: 29]. Permukaan tanah yang relatif landai, pola aliran sungai yang tidak teratur dan hutan lebat memberikan kecenderungan penduduk memanfaatkan sungai sebagai prasarana lalu lintas utama. Sungai Kapuas dan Sungai Landak merupakan main road, menjadi penghubung antara Pontianak—pusat perdagangan—dan daerah hinterland sebagai produk komoditi perdagangan. Kegiatan perdagangan menyebabkan munculnya pemukiman-pemukiman di sepanjang sungai, hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan hubungan dan transportasi dengan daerah luar [Purwana, ibid hlm 29].

Dilihat dari letak geografisnya, pola pemukiman ini merupakan salah satu mata rantai dari pola pemukiman dendritic [Micksic, 1984: 10]. Menurut Bennet Bronson konsep dendritic adalah pemukiman atau perkampungan yang terdapat pada aliran-aliran sungai yang bercabang-cabang, sehingga gambar pola perhubungan antara pemukiman mirip dengan sebatang pohon yang semakin tinggi semakin bercabang hingga beranting, dan di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui pemukiman daerah hulu sungai yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara sungai. Sungai besar sebagai main road mempunyai anak-anak sungai, bagi penduduk dikenal dengan parit-parit. Fungsi parit sebagai lalu lintas yang menghubungkan pemukiman dengan daerah pertanian dan pemasaran komoditi perdagangan [Vleming, 1926: 257—258]. Di samping itu juga mencegah banjir dan keamanan kota. Fungsi parit bagi keamanan kota adalah untuk memperkecil kemungkinan serangan yang datang dari luar, sehingga musuh tidak bisa langsung menyerang pusat kota.

Pembuatan parit sengaja diperlebar menjadi kanal [gracht] untuk lebih meningkatkan ketiga fungsi tersebut di atas. Peranan dan fungsi parit yang semakin besar dapat menarik penduduk Pontianak mulai mengembangkan pemukiman ke arah parit-parit tersebut. Pada mulanya bersifat memanjang dan mengelompok sesuai dengan kemudahan yang tersedia oleh alam, artinya bahwa pemilihan lokasi pemukiman tidak disertai dengan usaha penaklukan alam lebih dahulu [Purwana, ibid hlm 30]. Dengan demikian, lokasi pemukiman berpola mengelompok padat dan memanjang dengan mengikuti alur sungai-sungai. Perkembangan pemukiman yang mengelompok padat dan memanjang mengikuti aliran sungai menjadi ciri perkembangan Kota Pontianak. Setelah pembukaan hutan di persimpangan Sungai Kapuas—Landak, Syarif Abdurrahman Alkadrie menata dan membangun keraton atau istana sebagai pusat kota tradisional yang dihuni oleh sultan dan keluarganya. Arsitektur keraton awalnya mempunyai bentuk bangunan sangat sederhana. Masuknya para pedagang dan kompeni membawa pengaruh besar bagi bentuk dan bahan bangunan. Keraton menggunakan bahan dari batu bata, terutama pembuatan pagar keliling keraton. Meskipun demikian, sebagian besar bangunan keraton terbuat dari kayu belian yang tahan lama. Bahan dari kayu digunakan untuk tiang, dinding, ruangan dan atap.

Kompleks bangunan keraton terpisah dengan kampung lainnya yang dikelilingi tembok dan sungai. Untuk mencapai tempat yang terpenting keraton sangat sulit. Karena halaman-halaman diberi batas tembok-tembok pemisah dan yang dapat dimasuki hanya melalui pintu gerbang keraton. Pembuatan tembok pemisah berhubungan dengan fungsinya sebagai benteng untuk mencegah gangguan keamanan dari luar. Di luar wilayah keraton juga bermukim berdasarkan status sosial-ekonomi, status keagamaan dan status kekuasaan dalam kerajaan. Pemukiman di luar kompleks keraton terdiri dari para kerabat sultan. Di luar keraton umumnya bermukim para hulubalang atau pembantu kerajaan keturunan Bugis dan Arab. Kaum kerabat keraton dan hulubalang bermukim di Kampung Dalam Bugis, Arab dan Banjar sekarang. Di luar pemukiman para hulubalang terdapat Kampung Tambelan.

Ketika imigran dari Cina dipimpin Lo Fong bersama sekitar 100 pengikutnya mendarat di Siantan, sebelah utara Sungai Kapuas, pada 1772, mereka langsung membuka pemukiman di daerah tersebut. Setelah menetap selama lima tahun, Lo Fong meninggalkan Pontianak menuju Mandor dengan membuka pemukiman baru dan mendirikan kongsi. Lo Fong berasal dari Kampung Shak Shan Po Kabupaten Kuynchu Propinsi Kanton. Ia merupakan perintis bagi pemukiman orang Cina di Pontianak [Al Qadrie, 1984: 79]. Walaupun meninggalkan Pontianak, namun pengaruhnya masih kuat dan menjadi panutan bagi orang Cina yang bermukim di Pontianak. Penetapan pemukiman bagi orang Cina, menjadi dasar kebijakan sultan untuk ikut mengembangkan wilayah sebelah utara keraton. Kawasan tersebut menunjang aktifitas mata pencahariannya sebagai nelayan, tukang kayu dan pembuat perahu. Di wilayah ini dalam perkembangannya, orang Cina menjadikannya kawasan niaga yang ramai dikunjungi jung, kapal layar dan sampan. Semakin ramainya wilayah itu menyebabkan perluasan pemukiman orang Cina di tepian kanan Sungai Kapuas dan Sungai Landak [Anonim, 1926: 327]. Begitupula penetapan pemukiman bagi orang Dayak yang diberi kebebasan mendirikan pemukiman di sebelah utara keraton, di sepanjang Sungai Ambawang. Hal ini didasari pada pertimbangan daerah tersebut memungkinkan bagi orang Dayak untuk mengembangkan sistem pertanian ladang berpindah sebagai pola kehidupannya [Purwana, ibid hlm 32].

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar