Jumat, 13 April 2012

MENJELANG 240 TAHUN KOTA PONTIANAK

MENJELANG 240 TAHUN KOTA PONTIANAK

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD [Din Osman]

JEJAK SEJARAH

Kota Pontianak sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan dengan kota lainnya di Indonesia, karena letaknya di garis Khatulistiwa dan tidak banyak kota yang memiliki pemandangan sungai. Pemandangan perahu besar dan kecil yang lalu lalang menyusuri Sungai Kapuas di malam hari membuat suasana di tepi sungai terasa lengang dan keindahan lampu yang menghiasi kota menimbulkan kesan meriah bagi Pontianak yang dibelah oleh Sungai Kapuas sebagai salah satu sungai terbesar di Kalimantan. Kedatangan Habib Husin Alkadrie—berlanjut pada Syarif Abdurrahman—melalui proses komunikasi dan interaksi yang intens dengan Matan dan Mempawah Lama telah membuka lembaran sejarah baru Pontianak. Faktor-faktor dari luar melalui hubungan dengan Matan, Mempawah Lama (waktu itu Sebukit Rama kemudian Mempawah Lama), Landak, Sanggau, Sambas, Sintang dan Sukadana (Nieuw Brussel) serta komunitas Cina melalui institusi kongsi dengan membawa unsur-unsur sosialnya melalui hubungan timbal balik. Baik ideologi, sistem politik dan ekonomi, maupun berbagai unsur kebudayaan lainnya. Masuknya pengaruh VOC dilanjutkan kolonialisasi Belanda, dengan sendirinya telah memberi dampak perubahan sosial, ekonomi dan politik secara mendasar dalam kerajaan maupun kehidupan penduduk Pontianak.

Kerajaan—lebih tepatnya Kesultanan—Pontianak didirikan Syarif Abdurrahman Alkadrie, 23 Oktober 1771. Bersama keluarga dan pengikutnya, menebas hutan dan membangun pemukiman di tepi pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Peristiwa pembukaan pemukiman itu pula yang hingga kini diabadikan sebagai hari jadi Kota Pontianak. Di lokasi itu berdiri sekarang Istana Qadariah. Dari tahun ke tahun, daerah baru itu berubah jadi kawasan perdagangan. Enam tahun kemudian, Abdurrahman memproklamasikan berdirinya kerajaan Islam bernama Kesultanan Pontianak. Awalnya, Abdurrahman adalah pedagang dan ahli agama Islam. Ayahnya, Habib Husin Alkadrie, ulama asal Hadralmaut Yaman Selatan Timur Tengah. Dalam pengembaraannya menyebarkan Islam, Habib Husin terakhir singgah di Kerajaan Matan.

Di sana ia disambut baik penguasa kerajaan. Bahkan ia menyunting Nyai Tua, putri keraton yang kemudian melahirkan Abdurrahman. Sebagai kerabat raja, Abdurrahman tinggal di lingkungan tembok istana. Ketika usianya 16 tahun, pada 1755, kedua orangtuanya hijrah ke Mempawah Lama, atas permintaan Opu Daeng Menambun. Di tempat baru ini ayahnya juga menjadi ahli agama. Dua tahun di Mempawah, Abdurrahman berjodoh dengan Utin Tjandramidi, anak Opu Daeng Menambun. Rupanya, hidup berkecukupan tak membuatnya betah bersarang di lingkungan istana. Ia kemudian bertualang, berdagang dan menyebarkan Islam, pada usia belianya sekitar 25 tahun. Lima tahun ia mengembara ke berbagai daerah, mulai Banjar—masih di Kalimantan—sampai Bangka, Belitung, dan Tumasik, kini Singapura. Ketika ia balik kampung, didapatinya ayahnya sudah berkalang tanah. Abdurrahman kemudian mengembara lagi dengan mengajak keluarga dan pengikutnya. Daerah yang menjadi persinggahan terakhirnya adalah Pontianak sekarang.

Maka jelas, bahwa Kerajaan Pontianak tumbuh dan berkembang melalui hubungan perkawinan, perang diplomasi sampai pada pelayaran dan perniagaan. Dari jaringan komunikasi itu timbullah proses integrasi di antara daerah-daerah dan unsur-unsur sosialnya dan menimbulkan aliran besar kultural yang membawa ideologi, sistem kepercayaan, sistem politik dan berbagai unsur kebudayaan lainnya. Kemudian supremasi politik dapat mencakup dalam kekuasaan dan sebaliknya penguasaan perdagangan dapat memperkuat kedudukan politik. Kedatangan bangsa Inggris—EIC—untuk menguasai belahan utara Pulau Borneo (Kalimantan) yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Melayu, menjadikan VOC aktif melakukan ekspansi halus melalui kontrak dengan Kerajaan Pontianak guna memperkuat kekuasaan politiknya. Hubungan sosial multietnik antara suku Dayak sebagai penduduk asli di pedalaman dengan masyarakat Cina dan Melayu di Kerajaan Pontianak, seringkali mengalami pergesekan. Dengan adanya berbagai suku bangsa membawa akibat-akibat sosial yang sangat penting.

Perkenalan antar suku bangsa, terutama yang dilakukan para pendatang, memberi kemungkinan terbukanya komunikasi dalam pertukaran pengalamannya akan menjurus pada kesadaran tentang kesatuan dari suku bangsa seluruh tanah air. Para pedagang mendirikan perkampungan setelah mendapat izin dari sultan, sehingga banyak didirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pendatang tersebut berasal. Penduduk Pontianak secara tradisional yang berasal dari berbagai suku bangsa sejak lama melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan mampu mengembangkan diri dalam memajukan kegiatan perdagangan sehingga Pontianak tumbuh sebagai kota dagang. Berakhirnya masa kolonial bersamaan dengan munculnya pergerakan kebangsaan—kebangkitan nasional—hingga masa pendudukan militer Jepang, pembentukan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, masa Demokrasi Liberal dilanjutkan Demokrasi Terpimpin (baca: Orde Lama), Orde Baru sampai Era Reformasi, dengan sendirinya turut mempengaruhi kebijakan politik dalam susunan tata pemerintahan Kota Pontianak.

BERMULA SEJARAH

Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional. Kesultanan ini dirintis dan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Dayak, Melayu dan Bugis. Dikatakan termuda di dunia berdirinya, karena kesultanan yang berdiri pada 23 Oktober 1771 bersamaan 12 Rajab 1185 ini merupakan kesultanan yang terakhir dibangun dalam lintasan sejarah Kalimantan Barat. Dikatakan demikian, karena tidak ada kesultanan atau kerajaan lainnya, selain kesultanan ini, yang berdiri pada periode atau tarikh yang sama dengan atau lebih akhir maupun setelah tanggal kehadiran Kesultanan Pontianak (Al Qadrie, 2006: 2). Kesultanan termuda ini memiliki banyak keunikan sebagai warisan sejarah Nusantara. Karena meskipun kesultanan ini lebih akhir atau paling penghujung, tetapi telah menjadi pemersatu, unggul dan juru kunci serta memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan Barat serta sangat diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional di Nusantara. Secara geografis letak yang strategis memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi politis dan geo-strategis, baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menguntungkan dengan kesultanan lainnya di Nusantara, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya Pontianak secara implisit sebagai kekuatan hegemoni di kawasan yang belakangan dinamakan dengan Kalimantan Barat.

Kesultanan Pontianak dikenal juga dengan nama Kesultanan Qadriah, mengingat peletak dasarnya dari dinasti Alkadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie putra Sayyid Hussein Alkadrie atau Habib Hussein Alkadrie. Hussein (bin Habib Ahmad Alkadrie) adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil Trim Hadralmaut yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Hussein adalah salah seorang penganut mazhab Syafii termasuk ulama tasawuf (Al Qadrie, op cit, hlm 2). Hingga hapusnya sistem pemerintahan swapraja di Indonesia, kehidupan pemerintahan kesultanan ini berlangsung selama 179 tahun, suatu masa yang relatif singkat, dan hanya selama kurun tersebut diperintah oleh delapan generasi sultan dari dinasti Alkadrie. Belakangan kemudian, setelah era reformasi hadir, di Pontianak kembali dikukuhkan seorang sultan. Meski kesultanan ini sekarang tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi.

Awal mula Kesultanan Qadriah Pontianak kembali kepada riwayat hidup Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, putra seorang Habib Husin atau Syarif Husin Ibn Ahmad Alkadriee yang datang dari Kota Trim Hadralmaut Yaman. Pada usia 22 tahun Habib Husin bersama-sama dengan Saiyid Umar Al Saggaf, Saiyid Abubakar Al Idrus dan Saiyid Muhammad bin Ahmad Quraisy meninggalkan kota tersebut atas saran dan anjuran guru mereka untuk menyebarkan agama Islam dan mencari negeri-negeri yang subur di daerah selatan. Dalam perjalanannya mereka telah menyinggahi beberapa daerah dimulai dari Terengganu di kawasan Semenanjung Melayu. Saiyid Muhammad bin Ahmad Quraisy selanjutnya menetap di daerah ini. Sedangkan ketiganya melanjutkan kembali perjalanan mereka dan Saiyid Umar Al Saggaf kemudian memilih menetap di Negeri Siak Sri Indrapura, kemudian Saiyid Abubakar Al Idrus dan Habib Husin Alkadrie memilih menetap di Aceh (Hasanuddin, 2000: 12).

Setelah beberapa lama menetap di Aceh, Habib Husin berangkat ke Betawi dan menetap di sini selama sekitar tujuh bulan untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke Semarang dan menetap di sana bersama dengan Syekh Salim Hambal. Sekitar dua tahun lamanya menetap di Semarang atas petunjuk Syekh Salim Hambal ini pula selanjutnya mereka bersama berlayar menuju ke Negeri Matan dan menetap di daerah ini yang diperkirakan dalam 1735. Kedatangan keduanya ke Matan sebagai mubaligh yang menyebarkan syariat Islam di sini. Atas kejujuran dan kefasihan penguasaan ilmu keagamaannya, Sultan Matan kemudian mengangkat Habib Husin Alkadrie sebagai mufti atau penghulu agung di dalam kerajaan ini. Namanya cukup tersohor khususnya di sekitar wilayah kekuasaan Kerajaan Matan serta juga hingga ke Kerajaan Sebukit Rama (Mempawah Lama).

Sebagai mufti ia juga bertugas mengadili masalah-masalah sosial, politik dan keagamaan dalam Kerajaan Matan. Setelah melakukan kegiatannya ada beberapa hal yang tidak sefaham dengan Raja Matan. Seperti dalam kasus amoral yang dilakukan Nakhoda Ahmad dari Negeri Siantan terhadap seorang gadis Matan yang perkaranya diserahkan kepada Habib Husin yang kemudian diputuskan Nakhoda Ahmad harus bertanggungjawab dengan mengawini gadis tersebut, juga dikenakan denda uang dan diutamakan untuk bertaubat serta memohon ampun kepada Allah serta meminta maaf dan ampunan pula kepada raja (Hasanuddin, op cit, hlm 12). Di dalam pengambilan keputusan Raja Matan menolak hasil keputusan tersebut. Dan diam-diam telah mengambil keputusan sendiri dengan memerintahkan menyerang perahu Nakhoda Ahmad dan membunuhnya di muara Sungai Kayung Matan. Peristiwa ini membuat Habib Husin marah dan tidak menerima keputusan yang telah diambil oleh raja. Karena kecaman keras terhadap keputusan Raja Matan atas tindakannya sehingga membangkitkan amarah raja, Habib Husin merasa tindakan yang dijalankannya kurang disenangi raja, kemudian memutuskan untuk hijrah ke Kerajaan Sebukit Rama untuk mengabdikan diri di sana dan utamanya untuk melakukan syiar agama Islam di sana.

Di kalangan rakyat Negeri Sebukit Rama (Mempawah Lama), Habib Husin Alkadrie sangat terkemuka dan memiliki pengaruh yang begitu besar. Lebih-lebih setelah diangkat kembali menjadi mufti, mengajarkan ajaran-ajaran Islam, dan sebagai Patih di Kerajaan Sebukit Rama oleh Panembahan Tua Opu Daeng Menambun Pangeran Mas Surya Negara. Sebelumnya, di Matan, dalam 1742 seorang putra laki-laki lahir dari perjodohannya dengan Nyai Tua, seorang kerabat istana Kerajaan Matan keturunan Dayak Batulapis yang telah memeluk agama Islam. Putra pasangan Habib Husin Alkadrie dan Nyai Tua tersebut diberi nama Syarif Abdurrahman Alkadrie. Abdurrahman lahir pada hari Senin, 15 Rabiul Awal 1154 H. Habib Husin diikuti keluarga serta pengikut lainnya meninggalkan Negeri Matan menuju ke Sebukit Rama pada tanggal 6 Muharram 1160 H dan kelaknya Habib Husin Alkadriee wafat pada hari Rabu 3 Dzulhijjah 1184 H. Abdurrahman mempunyai tiga orang saudara kandung dari ibu mereka Nyai Tua, yang tertua Syarifah Khadijah, kedua adiknya masing-masing Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Alkadrie.

Sebagai anak muda yang cakap dan tampan, Abdurrahman menunjukkan bakat dan ambisinya yang besar. Masa mudanya penuh dengan petualangan, seperti melakukan pelayaran ke Siak Sri Indrapura dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan lada di daerah Banjarmasin, mengadakan perang dan berhasil mengalahkan kapal Prancis di Pasir dalam wilayah kekuasaan Banjarmasin. Juga mengalahkan jung-jung Cina dan sebagainya. Di wilayah Banjarmasin ini pula kelaknya ia dijadikan menantu oleh Sultan Saad di mana oleh Sultan Saad, Abdurrahman dinikahkan dengan Putri Syarifah Anom atau Ratu Sirih Anom dalam 1768. Selanjutnya Abdurrahman diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Sebelumnya, di Sebukit Rama ia telah menikahi Utin Tjandramidi putri Opu Daeng Menambun. Karena ambisinya yang sangat kuat maka akhirnya di daerah Banjar dia sangat dibenci oleh kerabat kerajaan ini, sehingga terpaksa bertolak kembali ke Mempawah (Hasanuddin, op cit, hlm 14). Pada pukul 14.00 Jumat 9 Rajab 1185, setelah shalat Jumat, Syarif Abdurrahman Alkadrie berangkat bersama seluruh keluarganya mencari suatu kawasan untuk dijadikan pemukiman baru bagi mereka. Saat itu kawasan yang dicari belum diketahui dengan jelas. Rombongan ini terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan berbagai perlengkapannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud (Anonim, 1926: 249-250).

Empat hari mengarungi sungai sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang belakangan dinamakan Batu Layang yang berada tak seberapa jauh dari muara Sungai Kapuas. Tempat ini kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Pontianak sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanannya sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Selanjutnya, pada subuh Rabu 14 Rajab 1185 H atau 23 Oktober 1771 rombongan Abdurrahman memasuki kawasan perairan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki dengan meriam para bajak laut atau perompak yang bersarang di kawasan tersebut. Dikirakan sekitar pukul 08.00 pagi tanggal tersebut, rombongan mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas yang tidak seberapa jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Masjid Jami Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dan pada saat itu pula dipersiapkan kawasan pemukiman. Pemukiman inilah yang kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak (Purwana, 2004: 14).

Keberhasilan Abdurrahman menemukan kawasan pemukiman yang sangat strategi dalam geografis yang aman dari bencana alam, tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non-formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Tidaklah berlebihan kalau Abdurrahman disebut sebagai seorang yang ahli maritim dan ahli strategi. Penobatan Abdurrahman sebagai Sultan Pontianak dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau. Karena tidak saja Kerajaan Riau merupakan kerajaan Melayu yang besar, kuat, berwibawa dan memiliki pengaruh besar di Nusantara yang pengaruhnya dikenal sampai di luar kawasan Kalimantan dan negeri-negeri Melayu. Tetapi juga hubungan pribadi dan pemerintahan Kesultanan Riau dan Pontianak sangat dekat. Abdurrahman dengan Raja Haji memiliki hubungan ipar sepupu sekali (first cousin in law). Abdurrahman adalah menantu Opu Daeng Menambun, sementara Raja Haji adalah putra Opu Daeng Celak. Sedangkan Menambun dan Celak keduanya adalah bersaudara kandung dari lima orang bersaudara putra dari Opu Daeng Relaka bangsawan Kerajaan Luwuk (Al Qadrie, ibid, hlm. 12). Penobatan itu berlangsung pada 8 Syaban 1192 H dihadiri para raja di Kalimantan Barat. Kemudian Yang Dipertuan Haji Raja Muda dari Riau atas nama seluruh rakyat mengangkat Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam dengan gelar Maulana Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai sultan di Kesultanan Pontianak.

Dalam perjodohannya dengan Utin Tjandramidi, dikaruniai tujuh orang anak masing-masing Syarif Abdullah Alkadrie, Syarif Kasim Alkadrie, Syarifah Aisyah Alkadrie, Syarifah Fatimah Alkadrie, Syarifah Syafiah Alkadrie, Syarif Husein Alkadrie dan Syarif Achmad Alkadrie. Belakangan, Kasim dan Husin sempat memerintah selaku panembahan di Kerajaan Mempawah setelah kerajaan ini ditinggalkan pewarisnya, Panembahan Adijaya Kusuma Jaya. Sedangkan dari Putri Sirih Anom atau Ratu Sirih Anom, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Syarifah Salmah Alkadrie dan Syarif Alwi Alkadrie. Pontianak merupakan daerah yang strategis, membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan. Dengan kondisi yang demikian, kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, juga dari Sanggau, Sukadana, Landak, Sambas, Sebukit Rama dan hulu Kapuas. Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, membuat lalu lintas perdagangan di Pontianak semakin ramai. Adanya jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kesultanan Pontianak. Dengan kedudukannya yang cukup kuat Abdurrahman berusaha melakukan ekspansi, yang menjadi keinginan pertama adalah Kerajaan Sanggau. Adanya ancaman tersebut, Raja Sanggau selaku vazal (negeri bawahan) Banten meminta bantuan. Akan tetapi pihak Banten yang secara resmi masih dipandang mempunyai suzereinitas sesungguhnva sudah tidak berdaya lagi untuk melakukan tindakan tersebut. Maka pada tanggal 26 Maret 1778 Sultan Banten bersama para pembesarnya menyerahkan supremasi Banten kepada VOC dan selanjutnya menyerahkan kekuasaan Sanggau kepada Sultan Pontianak.

Drs H Jimmy Mohamad Ibrahim (1971) menjelaskan: Peristiwa sejarah yang sebenarnya adalah bahwa Sultan Abdurrahman, pada waktu itu Pangeran (Prins) dari Kerajaan Mempawah, mempunyai suatu vor uitzicht yang luas dan suatu pandangan strategis yang bernilai, untuk mencari suatu daerah baru pembangunan suatu kota. Dilandasi oleh jiwa pionir mernbuka daerah yang masih berhutan lebat dan rawa serta sungai, tidak dapat dilepaskan dari cultural background dan educational backgroundnya sebagai pemuda yang beragama untuk memperkembangkan agama Islam. Maka berangkatlah ia beserta pengawalnya dan dalam perjalanannya ia berperang dengan bajak-bajak laut (zeerovers) yang pada waktu itu menjadikan persimpangan tiga Sungai Landak dan Kapuas, di mana sekarang Kota Pontianak terletak, sebagai basis operasi pembajakannya. Dalam dongeng kuno dikatakan sebagai Hantu Pontianak yang sebenarnya adalah bajak laut yang ditembaki dengan meriam-meriam. Lebih jauh, mengutip tulisan Jimmy Mohammad Ibrahim: Adalah keliru sekali, kalau ada pandangan yang berpendapat mengutik-utik kembali peristiwa sejarah masa lampau akan mengembalikan kita pada zaman feodalisme. Bagaimanapun dan apapun juga penilaian yang akan diberikan orang pada tokoh Sultan Abdurrahman, adalah pendiri Kota Pontianak. Buku-buku barat ada yang mengatakan Sultan Abdurrahman sebagai Arabische Zeerovers, Arabische Fortuinzoeker, tetapi semuanya mengatakan Hij was de stichter van Pontianak.

Menurut hasil penelitian Panitia Hari Jadi Kota Pontianak, 1968, setelah mengkaji cukup dalam tentang persamaan hari dan bulan Hijriyah dengan penanggalan Masehi, menetapkan bahwa tanggal 14 Rajab 1185 Hijriyah bersamaan dengan rabu, 23 Oktober 1771 Masehi, ketika di pagi Rabu itu Syarif Abdurrahman dan rombongannya mendarat di daratan ujung pertemuan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil di mana sekarang berdiri Istana Kadriyah dan Masjid Jami Syarif Abdurrahman Pontianak. Untuk mempertegas prespektif sejarah berdirinya Kota Pontianak, menjelang peringatan 200 tahun kota ini, 1971, Walikota Pontianak Siswojo, membentuk Panitia Penyelidik dan Penyusun Sejarah Lahirnya Kota Pontianak. Dari catatan yang ada sampai 1968, saat atau tanggal Syarif Abdurrahman mendarat di tepian Sungai Landak dan Sungai Kapuas itu hanya disebutkan dalam tarik Hijriyah pada Rabu 14 Rajab 1185 Hijriyah.

Panitia yang diketuai Soeparto, telah melakukan penelitian dan pengkajian tentang kebenaran tanggal hari jadinya atau berdirinya Kota Pontianak. Melalui pengkajian kepustakaan, penelitian lapangan dan analisis menurut ilmu hitung menyangkut persamaan tanggal, bulan dan tahun Hijriyah dengan Masehi yang dilakukan Rani Yasin SH, panitia berkesimpulan bahwa 14 Rajab 1185 Hijriyah bersamaan dengan rabu 23 Oktober 1771. Berdasarkan hasil penelitian panitia tersebut, Walikota mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 070/Kpts-ot/1968 tanggal 21 Oktober 1968 yang memutuskan bahwa Hari Jadi atau Hari Lahir Kota Pontianak adalah 23 Oktober 1771 M. Keputusan Walikota Pontianak ini dikukuhkan oleh DPRD-GR Kotamadya Pontianak dengan Surat keputusan Ketua DPRD-GR Kotamadya Pontianak No 012/Kpts-DPRD-GR/1968 tanggal 21 Oktober 1968 ditandatangani ketuanya Syarif Achmad Yan Alkadrie.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar