Jumat, 13 April 2012

KALIMANTAN BARAT DI MASA PENDUDUKAN REZIM MILITER JEPANG 1941-1945

KALIMANTAN BARAT DI MASA PENDUDUKAN REZIM MILITER JEPANG 1941-1945

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD

Akhirnya hal yang lama ditunggu-tunggu, terjadi juga. Tanggal 29 Januari 1942 Jepang mendarat di Pemangkat. Ada yang masuk dari Serawak jalan kaki. Seperti diketahui, mereka mundur ke pedalaman: Ngabang, Sanggau, Sintang, Nanga Pinoh, Kotabaru, Nanga Sokan-perbatasan Kalimantan Selatan dan Nanga Tayap. Mereka berjalan kaki menuju kota-kota lain, dari Pemangkat. Tidak auto, tidak ada truk. Di tengah jalan bertemu dengan rakyat yang bersepeda dan yang berjalan kaki. Mereka turun dari sepeda. Maksudnya supaya hormat. Sepeda digiring, beri hormat dan akan jalan terus sedianya, tapi Jepang menyruh berhenti. Mereka bertanya dalam bahasa yang tidak dimengerti. Terpaksa bicara dengan isyarat. Yang ditanya menggeleng-geleng kepala. Sepeda diambil jadi ganti.

Sambil berjalan kaki yang punya sepeda dalam ketakutan berpikir: hilang yang berpayung, datang yang bertopi. Maksudnya, yang pertama Belanda, yang kedua, Jepang tadi. Kedua-duanya sama tak baik. Malangnya jadi rakyat, jadi sasaran terus. Sepeda adalah untuk hidup, alat untuk mencari nafkah. Itu pula yang diambil. Dengan cara begitu berangsur-angsur orang-orang Jepang itu dapat sepeda sebuah seorang. Dengan itu mereka mara ke Singkawang melalui desa-desa yang terletak di antaranya, setelah singgah di sana-sini. Ada di antaranya yang belum pandai benar naik sepeda. Ada yang kakinya terlalu pendek, sedangkan ia kebetulan dapat sepeda tinggi. Apa akal, kawan-kawan sudah mendahului semua. Kaki yang pendek tidak bisa disambung. Tetapi ada caranya supaya kaki jejak ke pedal, yaitu dengan memiringkan badan, sekali ke kanan, sekali ke kiri. Serupa menumpang perahu oleng.

Sebulan lebih sesudah peristiwa bom sembilan itu, akhir bulan Januari 1942 mendaratlah Angkatan Darat Balatentara Dai Nippon di daerah Kalimantan Barat melalui Pemangkat, tanpa perlawanan dari pihak Belanda, sebagian besar tentara Knil sudah lebih dulu meninggalkan daerah Kalimantan Barat. Saat kosong [vacuum] di antara larinya orang-orang Belanda dan masuknya balatentara Jepang ke Pontianak, digunakan untuk menggedor gudang-gudang bekas perusahaan Belanda di Pontianak, seperti Borsumij, Internatio, mengambil bermacam barang yang dikenal sebagai Cap Kapak.

Beberapa orang Belanda yang tidak meninggalkan tempat, ialah antara lain Controleur Knibbe di Pontianak, Controleur Appel di Mempawah dan tiga orang kepala bank-bank Belanda di Pontianak. Belakangan Controleur Appel dibunuh Jepang di Mempawah, sedangkan tiga orang dari bank-bank Belanda itu dipancung di pangkalan Teng Seng Hie Pontianak di muka orang ramai. Adapun Controleur Knibbe diinternir ke Miri. Kedatangan Balatentara Jepang di daerah Kalimantan Barat melegakan hati rakyat. Kedatangan balatentara Dai Nippon itu disambut oleh rakyat dengan tangan terbuka dan keramahan, sekalipun terjadi satu peristiwa di waktu Jepang baru masuk ke Pontianak, di mana sejumlah penduduk kota, termasuk beberapa orang terkemuka dikurung di lapangan tenis di pinggir Sungai Kapuas dan dijemur sehari penuh.

Dari rumah-rumah dan dari tepi jalan rakyat melihat rombongan lewat. Hati terasa takut. Tidak tahu bagaiana harus memberi hormat dan bagaimana menyapanya. Apakah cukup dengan mengepalkan tangan sambil mengacungkannya ke atas, atau bagaimana. Atau membungkuk-bungkukkan badan sambil kepada diangguk-anggukkan. Seperti burung tekukur. Kelihatan muka-muka yang garang, bengis. Umbai-umbai di tengkuknya melambai-lambai seperti daun pisang kering ditiup angin. Rakyat berkata: lain benar pakaian mereka itu. kelihatan seperti drill yang sudah lusuh. Tidak setampan serdadu Belanda. Yang lain berkata: kemenangan tidak tergantung pada pakaian yang dipakai. Tapi pada semangat yang menyala-nyala. Buktinya mereka sampai kemari tanpa perlawanan yang berarti. Pertahanan Belabda di hutan-hutan dan di bukit-bukit tembus satu demi satu. Satu dua kepala tersembul di tempat-tempat yang ketinggian, bukit-bukit. Maksudnya meninjau arah. Serdadu Knil bukan tidak ada yang pandai membidik dan menembak tepat pada sasaran. Kedua-dua kepala Jepang itu lenyap, berguling-guling ke dalam lembah. Kedengaran bunyi orang sekarang. Kemudian sunyi senyap.

Orang-orang Jepang itu ingin tahu, di mana saja Knil itu bertahan. Jadi pasang umpan dulu. Ditembak. Dan sekarang mereka tahu. Komandan Knil itu membisikkan sesuatu kepada ank-buahnya, menyuruh berhati-hati. Sati brigade jumlah mereka. Kepalanya sersan, seorang Belanda Indo. Mereka bagian dari satu seksi yang terdiri dari tiga brigade, kepalanya sersan mayor, Belanda totok. Mereka berpencar. Tiba-tiba mereka berada dalam kepungan tentara Jepang! Sekarang mereka mengerti duduk perkara. Yang pertama umpan dua kepala hidup-jidup. Yang kedua umpan juga, tapi kiranya hanya topi-topi waja yang dipancangkan di bukit itu. maksudnya untuk menarik perhatian, supaya mata tertuju ke sana saja. Serdadu Jepang itu tidak menghadapi mereka secara frontal tetapi mengambil jalan lain. sedemikian rupa, sehingga mereka tiba-tiba berada di belakangan Knil itu. yang terkepung seperti orang tidak berdaya. Tangan-tangan diangkat seperti orang takbir, gemetar.habislah riwayat. Dan mereka menyerah kepada nasib.

Malangnya manusia itu bukan seperti mesin atau spoor yang dapat lari terus menerus. Pelari yang terkuat di seluruh dunia pun memerlukan istirahat setelah sampai ke garis finish. Malahan ada yang pingsan di tengah jalan sebelum sampai ke penghentiannya. Begitulah mereka, serdadu-serdadu Knil itu, terpaksa berhenti di suatu hutan. Hanya yang menjadi pikirannya ialah, bagaimana ia dan kawan-kawannya harus bersikap terhadap rakyat. Mereka bukanlah dikenal sebagai orang kompeni. Artinya menjadi alat dari sesuatu kekuasaan yang telah hilang. Di kampung-kampung dan di desa-desa yang dahulu biasa mereka datangi dalam patroli, rakyat mengenal mereka tidak lain daripada itu. apabila berselisih jalan dengan rakyat, rakyat itu berjalan menepi-nepi dalam ketakutan sambil berkata sama sendirinya: kompeni-kompeni. Meskipun mereka tidak tahu bahwa kompeni itu dulu ialah persatuan dagang Belanda. Yang mendapat hak monopoli dari Pemerintah Hindia Belanda: jadi raja buah pala, cengkeh, tetapi juga yang membunuh sekitar 15.000 orang rakyat Banda karena menjual cengkehnya kepada orang lain, tidak kepada kompeni itu. Mereka tidak tahu. Pun tidak, ketika 800 orang penduduk dibawa ke Batavia jadi budak dan 6 bulan kemudian 176 orang mati karena kekejaman kompeni itu. Mereka juga tida pernah tahu tentang angkatan perahu [hongi] yang menguasai laut Maluku, menebas rata tanaman-tanaman cengkeh, pala, kepunyaan rakyat. Katanya untuk mencegah perdagangan gelap. Paling banyak mereka pernah mendengar tentang perang Tebidah. Dan ketika Lampung pecah harga beras seringgit sekati. Mereka Knil-knil itu, oleh keadaan, menjadi terpisah dari rakyat, walaupun mereka berasal dari rakyat. Kekuasaan lain memisahkan mereka dari kehidupan masyarakat. Bahkan di antara mereka dengan rakyat terbentang jurang yang amat lebar yang menyatakan dirinya dalam perbedaan cara berpikir dan dalam cara memahami soal-soal.

Orang tua bukanlah orang tua kalau ia tidak memahami bahwa kilat cermin arahnya ke muka dan kilat beliung ke kaki … Dan seperti juga ahli hikmat, Knil-knil itupun berpikir: hidup itu adalah sesuatu seni yang memerlukan kepandaian. Dan kepandaian itulah yang sebenarnya seni. Dengan kepandaian diamksudkan juga kemampuan untuk menyelami jiwa rakyat, kesukaan rakyat. Dan kesukaan rakyat itu ialah: mereka senang kalau Jepang dipuji-puji dan Belanda lari terbirit-birit. Knil-knil itu, sebagai orang timur, walaupun mereka bekas kaki-tangan dari suatu kekuasaan yang akan hilang dan pasti hilang, tahu caranya bagaimana orang menumpang makan. Pada masyarakat pedesaan tidak ada perhitungan-perhitungan dalam bentuk materiil. Kehidupan berdasarkan kekeluargaan. Kalau adapun perhitungan-perhitungan maka perhitungan-perhitungan itu hany disimpan di dalam hati untuk dikenang. Hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati.

Kota seakan-akan mati, sunyi. Rakyat dalam ketakutan. Sebuah pesawat udara melayang di atas kota. Tanda Hinomaru menunjukkan kebangsaannya: pesawat Jepang. Berputar-putar sebentar lalu menghilang. Itulah yang membuat rakyat takut. Apakah memang disengaja oleh Jepang untuk membuat rakyat panik. Memang. Sedemikian rupa, sehingga mereka dipandang maha perkasa. Segala-galanya dapat mereka perbuat, sampaipun pada hal-hal yang tidak mungkin oleh orang lain. apakah penghancuran armada Rusia di Laut Kuning itu bukan suatu bukti nyata? Lebih-lebih kalau diukur dengan ukuran fisik. Jepang itu orangnya katai. Namun bisa memukul lawannya yang besar-besar, Rusia itu. dan sejak itu kekaguman terhadapnya semakin bertambah.

Sesungguhnya sudah lama tertanam di hati rakyat: rasa kagum dan bangga terhadap Jepang. Merekapun menunjukkan sikap yang manis kepada bangsa Indonesia. pertempuran di hutan-hutan Bengkayang itu di mana serdadu-serdadu Knil berbangsa Indonesia yang terkepung atau tertangkap dilepaskan semua dan disuruh pulang dipandang suatu bukti nyata betapa baiknya mereka itu. kalau mereka tertangkap maka sekedar ujung bedilnya saja yang dicium kalau-kalau bau mesiu. Kalau tidak, boleh pulang dan disuruh pulang. Kalau kebetulan bau mesiu, artinya sudah pernah menembak, maka sekedar tampar saja sudah cukup dan dengan mata melotot disudahi dengan … bagero! Tapi disuruh pulang juga. Dan mereka inilah yang paling cepat larinya dari yang lain, seperti dapat difahami kalau orang terlepas dari bahaya besar. Gembira dan bersyukur. Dan dengan demikian Jepang pun tidak rugi, malahan untung moril.

Betapa sunyinya kota kecil ini karena ditinggalkan. Orang-orang tua adalah angkatan yang pergi, sedangkan yang muda-muda adalah angkatan yang datang. Mereka inilah yang harus diselamatkan. Maut tidak memilih tempat, katanya. Antusiasme karena kedatangan Jepang kian berkurang ketika keadaan hidup semakin memburuk. Pontianak sungguh-sungguh sudah diduduki 6 Februari 1942. Sorak-sorai menyambut kedatangan mereka kini agak redup. Orang bertanya-tanya apakah masih ada gunanya untuk bersorak-sorai. Tidak jelas siapakah yang menang sekarang. Tetapi yang terang bukan rakyat, bukan bangsa Indonesia. orang Indonesia tetap seperti dahulu juga: tukang cangkul.

Bersama-sama dengan Sulawesi dan kelompok kepulauan sebelah Timur garis memanjang dari utara ke selatan melalui Selat Bali dan Makassar, Kalimantan seluruhnya berada di bawah jurusdikasi angkatan laut Jepang. Gunsei [Pemerintahan Militer] di daerah-daerah kepulauan itu dinamakan Minsei [Pemerintahan Sipil]. Pusatnya [Minseibu] berkedudukan di Makassar. Minsei dan Gunsei tidak berbeda dalam prinsip, hanya dalam sebutan. Pemerintahan di Kalimantan Barat beralih ke tangan Minseibu dalam bulan Juli 1942. Setiap perubahan keadaan membawa bersamanya beberapa peristiwa, terutama di bidang mental, sikap, laku dan perbuatan. Peristiwa-peristiwa itu mengandung juga hal-hal yang lucu kalau dilihat dari satu segi. Akan tetapi dipandang dari segi yang lain kejadian-kejadian itu menggambarkan watak bangsa atau sebagian besar dari padanya, baik Jepang maupun rakyat Indonesia. Belanda sebagai pihak lain nampaknya lebih mementingkan keselamatan jiwa raganya dari pada memelihara harkatnya terhadap bangsa dan rakyat Indonesia. namun, terlepas dari rasa sentimen, setiap orang pun akan berbuat demikian berhadapan dengan suatu arus kekuatan bagaikan tidak terbendung itu, dan semangat zaman.

Orang-orang Jepang menyusun dan menertibkan tubuh pemerintahan di seluruh daerah. Semua kedudukan dan jabatan, yang sebelumnya diduduki oleh orang-orang Belanda, digantikan oleh orang-orang Jepang. Perusahaan-perusahaan Jepang pun mulailah muncul, seperti Mitsubishi, Nomura, Sumitomo, Toyomenka dan lain-lain. dari pihak Indonesia didirikan oleh pemuka-pemuka masyarakat suatu gabungan dagang bernama Sadip, Serikat Dagang Indonesia Pontianak. Balatentara Jepang yang menduduki daerah Kalimantan Barat pada waktu itu adalah dari Angkatan Darat. Di Sambas Muzani A Rani bersama-sama dengan beberapa orang teman yang pernah belajar di Jawa, seperti Abdul Kadir Kasim, Haji Abdul Malik Suud, Zulkifli Suud, mereka mendirikan pada Oktober 1942 sebuah gabungan dagang bersama beberapa beberapa pengusaha-pengusaha tua, bernama Gadis, Gabungan Dagang Indonesia Sambas, mengikuti mode yang sudah menjalar di seluruh daerah, mulai dengan Sadip di Pontianak, kemudian disusul oleh lain-lainnya, seperti Sadim di Mempawah, Perdip di Pemangkat. Berdirinya gabungan-gabungan dagang Indonesia ini, adalah karena golongan bumiputra merasa sudah waktunya untuk tampil memegang peranan dalam sektor perdagangan, lantaran selama penjajahan Belanda sektor ini dimonopoli oleh Belanda di puncaknya dan Cina di tengahnya, bahkan perdagangan eceran dapat dikatakan dimonopoli oleh Cina.

Pada 29 Ichigatsu 2602 (29 Januari 1942) tiba di Pontianak Opsir Nippon, Morita, sebagai pimpinan sementara Dai Nippon untuk Kalimantan Barat, baik sipil maupun militer. Selanjutnya sebulan kemudian, Februari 1942, Morita diganti Izumi sebagai gunseibu. Izumi segera mengaktifkan media massa propaganda Borneo Barat Shinbun (BBS) dan merestui dibentuknya Nis Sin Kwai. Dengan peralihan kekuasaan atas Kalimantan Barat dari Rikugun ke Kaigun, maka Izumi digantikan kuno. Kuno kemudian digantikan S Yoneda yang meneruskan kekuasaan pemerintahan selanjutnya. Di masa Yoneda selaku gunseibu Kalimantan Barat, selain Nis Sin Kwai (NSK), ia membolehkan untuk terus aktif 3 organisasi lain. Masing-masing Indo Djin Djijoe Renmei (Indian Independence League) Pontianak, Serikat Dagang Indonesia Pontianak (Sadip) dan Sin Boku Kai (Pervindo).

Indo Djin Djijoe Renmei (Indian Independence League, IIL Pontianak) terdiri dari Kernal Singh, V Tarachand, Lilaram, Md Joesoef, A Madjid, MRE Ponnusamy dan Lekhoomal. Adapun Sadip terdiri dari Nasroen gelar Radja Soetan Pangeran (Ketua), M Rasad (Wakil Ketua), MK Soekimo (Penulis), M Tahir H Arip (Bendahara) dengan anggota pengurus Ramli HM Tahir, M Joesoef, H Djafar H Abdoerrasjid, Jasid gelar Soetan Roemah Tinggi, H Badroeddin H Abdul Fattah, Goesti Mohammad Poetra, MK Indera Mahjoeddin, H Harahap dan Ranie Soelaiman. Adapun Sin Boku Kai (Pervindo) terdiri dari A Kismet (Ketua), Natarsjah (Ketua Muda), HM Aboebakar (Penulis), SS Faizulla (Bendahara) dengan anggota Goelam Abbas bin Abdoel Hoesein, Govindabaij, HM Abdullah, Lilaram, A Madjid dan Lalsingh serta penasehat Kernal Singh dan Lekhoomal.

Pada 13 Shichigatsu 2602 (13 Juli 1942, Senin) untuk pertamakalinya sejak dibentuk Februari 1942, diadakan rapat pengurus organisasi Nis Sin Kwai (Nissinkwai, NSK), bertempat di Sositeit Medan Sepakat di Landraadweg (Jalan Jenderal Urip Pontianak sekarang). Rapat dibuka Ketua Nissinkwai Notosoedjono (Rd Pandji Mohamad Dzoebier Notosoedjono). Dipertegas dalam rapat pengurus tersebut, bahwa: “…organisasi ini dibentuk dengan maksud jaitoe hendak mentjahari soeatoe persatoean jang kekal dan kemadjoean diantara kita bangsa2 Asia seloeroehnja …”

Dijelaskan juga, “… karena itoe djoega pendirian dan Nis Sin Kwai disni boekan sadja mendapat persetoedjoean dari pembesar2 militer Nippon disini, tapi poela mendapat sokongan, seperti andjoeran dari pihak atasan soepaja sekalian pegawai2 negeri mesti memasoekkan dirinja dalam perserikatan ini …” Semboyan organisasi ini (Nis Sin Kwai) adalah Hidoeplah Dai Nippon! Hidoeplah Nis Sin Kwai! Hidoeplah Asia Raja! Berdasarkan Azas dan Toedjoean atau Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga-nya dijelaskan: Nis berarti Nippon, Sin artinya wakil masyarakat, dan Kwai artinya perserikatan atau organisasi. Ditegaskan pula, “…oentoek akan dapat mentjiptakan persatoean jang dikandoengnja itoe, maka tiap2 orang jang telah masoek dalam Nis Sin Kwai mesti bekerja dengan sedapat2nja mempropagandakan tjita2 dari partainja, baik dengan moeloet, maoepoen dengan toelisan, sehingga tertjapailah angan2 dan tjita2 dari partai Nis Sin Kwai ini …”

Pada 15 Shichigatsu 2602 (15 Juli 1942, Rabu), sejak hari ini pelaksana pemerintahan pendudukan Dai Nippon dialihkan dari semula Rikugun Gun Sei Bu (Gunseibu) kepada Kaigun Min Sei Bu (Minseibu). Struktur pemerintahan sebagaimana struktur pemerintahan di masa kolonial Belanda, sebelum Perang Dunia II, di Kalimantan Barat, tidak mengalami perubahan. Sebagai Min Sei Bu Shutcho Sho diangkat Kenkichi Kuno (K Kuno) dengan sebutan Shutchosho Cho Dai Nippon Kaigun Min Sei Bu atau Pembesar Kantor Min Sei Bu Borneo Barat Cabang Pontianak. Sebelumnya, sejak pendudukan Pontianak, jabatan ini dijabat oleh S Izumi dari Gunseibu (Angkatan Darat) Dai Nippon Teikoku. Izumi menjabat antara Desember 1941 sampai 15 Juli 1942. Bersama Izumi, pimpinan pasukan Angkatan Darat atau Kepala Pasoekan Bintang selama ini dijabat oleh Omino. Beberapa pejabat teras lainnya seperti Okoeda, Watanabe dan Sakano yang bertugas di Singkawang.

Pada 17 Hachigatsu 2602 (17 Agustus 1942), memulai jabatannya memerintah di Pontianak, S Joneda, selaku Borneo Minseibu Pontianak Shibu-Cho. Joneda adalah pembesar militer Jepang yang menggantikan Kuno, peabat atau penguasa militer sebelumnya. Pada 9 Kugatsu 2602 (9 September 1942), organisasi Parindra Kalimantan Barat membubarkan diri atas tekanan pemerintah Dai Nippon. Pembubaran itu didasarkan pada Undang Undang Nomor 23 dari Balatentara Dai Nippon di Jakarta, serta diberlakukannya peraturan larangan untuk berkumpul sejak 27 Juli 1942 yang memang sudah ditetapkan sebelumnya. Pernyataan pembubaran itu ditandatangani Majelis Daerah Parindra Kalimantan Barat yang terdiri dari Ranie Soelaiman, Hidajat Ismail, Notosoedjono, dr RMA Diponegoro dan Mohd Tahir.

Pada 30 September 1942 diumumkan susunan pemerintahan di Pontianak, masing-masing Sigeeda (Bidang Pemerintahan), Kuno (Keuangan), Ishida 9ekonomi) dan Urusan Umum dirangkap Yoneda. Pada hari yang sama diumumkan pula kepengurusan Pontianak Ishutsunyu Kumiai, terdiri dari Ketua Lim Ek djoe dengan anggota Yanagisawa, K Ogawa, Ng Ngiap Soen, Tjhin Tjhong Hin, Nasroen gelar Radja Soetan Pangeran, H Abdullah Fattah, Rohana, Sj Abd b Sj Aboebakar, dan Tarachand.

Penduduk mula-mula hidup dengan leluasa, hanya kehidupan ekonomilah yang terasa menghimpit. Roda pemerintahan memang berjalan lancar, tapi roda ekonomi tidak. Zaman Kupon sudah berakhir, tetapi peperangan belum berakhir. Kehidupan sehari-hari bertambah sulit. Banyak orang terpaksa menjual segala macam barang isi rumah dan perhiasan supaya dapat hidup, dan sering pula terjadi barter barang. Jepang mula-mula masuk untuk beberapa waktu masih dipakai mata uang Hindia Belanda, tapi kemudian baru diganti dengan mata uang Jepang dengan nilai tukar sen. Satu peristiwa yang agak mengejutkan penduduk kota Sambas, yaitu ditembak matinya seorang berkulit putih, bernama Von Oslar, sehari-hari dipanggil Bobby, dengan disaksikan oleh semua pegawai negeri, termasuk Sultan Sambas, dan pemuka-pemuka masyarakat antara lain Maharaja Imam Sambas, setelah diarak berkeliling kota. Peristiwa ini mengejutkan penduduk lantaran mengingatkan orang kepada peperangan dengan hukumnya. Sedikit demi sedikit, pembesar-pembesar Jepang mulai memperlihatkan sikapnya yang tegas.

Bermacam-macam kisah yang mengiringi pendudukan Jepang itu. belanda menjalankan apa yang dinamakan politik bumi hangus. Kemudian angkat kaki, meninggalkan segala-galanya dalam keadaan hancur terbakar. Nasib mereka belum lagi tentu, tetapi yang pasti: semua harus dihancurkan, semua harus binasa, apa sajapun yang dapat dipergunakan Jepang untuk kepentingan perang. Entah disengaja entah karena alpa, gudang Borsumy berada dalam keadaan utuh bersama isinya. Juga beberapa buah gudang yang lain. jepang menghadapi keadaan yang demikian itu pada hari pertama menginjakkan tapak sepatunya di ibukota Khatulistiwa. Pada kesan pertama mungkin mereka berpikir tentang suatu politik bumi hangus yang tidak sempat diselesaikan. Tetapi tidak semua bengkalai itu buruk rupanya. Lebih-lebih kalau tujuan pokok adalah perusakan dan pembinasaan harta benda. Mereka datang sehelai sepinggang, tidak membawa apa-apa untuk rakyat, kecuali bedil dan sangkur terhunus. Sekarang ada beras, gula, rokok, kain-kain segala ragam, menanti kedatangan mereka, di samping banyak lagi barang-barang lain. ini mestinya juga untuk rakyat, mereka berpikir.

Satu regu tentara pergi ke gudang, membuka pintu, kemudian menyuruh rakyat datang ke tempat itu. lambaian tangan mereka bisa diartikan dengan ambil. Semua dengan isyarat dan mimik, bahasa mereka tidak dimengerti. Dan ternyata memang itulah yang dimaksudkan. Artinya rakyat disuruh mengambil apa saja dan membawanya pulang. Suatu propaganda yang baik dari tentara pembebas. Dan rakyat memang memerlukan barang-barang itu. muka-muka yang bengis, garang, rupanya tidak membuat rakyat itu takut. Kiranya di balik rupa dan sikap yang kasar tersembunyi maksud yang baik, murah hati. Mereka berpikir: kesempatan ini agaknya hanya sekali seumur hidup. Dan Jepang hanya perantara untuk menyampaikan karunia ini, bukan soal bagaimanapun rupa mereka itu. barang-barang dipikul e luar gudang, sekuat badan membawa, masuk tongkang atau sampan tambang. Terjadi rebut-rebutan yang ramai, dahulu mendahului, hiruk pikuk. Kembali lagi ke tongkang atau sampan tambang selagi masih dapat diisi atau dipikul sendiri ke rumah bagi yang dekat rumahnya. Sampan-sampan tambang berkeluaran dari parit-parit seperti dipanggil. Semuanya menuju ke gudang itu, mencari bagian. Setelah penuh berisi dikayuhkan dan menghilang, untuk kemudian kembali lagi mencari muatan baru kalau masih bisa, atau tenggelam karena kepenuhan. Dan peristiwa yang demikian banyak terjadi. Orang tidak lagi memperhitungkan daya muat tongkang atau sampan tambang karena rasio tidak lagi turut bicara.

Sementara itu rebut-rebutan berjalan terus. Kesempaan yang diberikan Jepang embuat orang yang ragu-ragu sekalipun menjadi berani. Dan ini adalah durian runtuh, mereka berpikir. Akan tetapi anehnya dalam suasana rebut-rebutan orang lupa akan suatu hal: yang boleh diangkut mestinya apa yang diizinkan saja. Duriannya boleh dipungut akan tetapi batangnya jangan ditebang. Dan tiap-tiap kebaikan ada batasnya. Kapak dan parang mulai bermain dan sebuah pintu gudang yang lain dibongkar dengan paksa. Orang-orang menyerbu melalui pintu dan keluar dari pintu lain dengan mengepit kaleng-kaleng biskuit, mentega, ikan sarden dan apa saja. Sekelompok yang lain memikul karung-karung berisi gandum dan beras Siam atau gula pasir. Hukum rimba berlaku di sini: siapa yang kuat dia yang mendapat. Orang mencari bagiannya sendiri dan tenggang rasa tidak terpikir lagi. Ada seorang separoh baya yang lemah tetapi bernafsu, ditimpa karung, tidak ditolong, malahan dilangkahi saja. Hiruk pikuk memenuhi ruangan gudang itu dan terdengar lagi papan dinding yang berderak karena dikapak.

Jepang pengawal dikejutkan oleh bunyi itu dan memasang telinga, mencari dari mana arah datangnya. Segera diketahui bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi di gudang itu. tanpa komando kecuali hati sendiri, bedil yang terpancang di tanah, dengan sangkur diujungnya pindah ke pundak. Dan tiba-tiba ia telah berada di tengah-tengah orang banyak itu. semua mata memandang kepadanya. Salah seorang di antara mereka yang lancang tangan itu mendapat bagiannya: cap tangan! Yang terkena menunjuk-nunjuk ke arah muka-muka yang lain seolah-olah hendak meyakinkan Jepang bahwa ia bukanlah satu-satunya biang keladi. Itu juga, ini juga. Dan banyak lagi. Seperti biasanya orang kebanyakan: bila saatnya harus bertanggung jawab ingin bersama dengan yang banyak. Kalau senang ingin sendiri. Kesudahannya semua atau sebagian besar dapat cap tangan. Dan kini baru disadari bahwa langit itu tinggi. Bersalah atau tidak, semuanya dihalau dari gudang itu. perbendaharaan kata-kata menjadi diperkaya dengan timbulnya istilah baru: cap tangan dan cap kapak.

Tiga atau empat orang kempetai tiap hari keliling kota, dengan ban merah di lengannya. Setiap orang lalu harus memberi hormat kepada mereka. Kalau tidak pasti dilampang. Pada hari-hari pertama pendudukan Jepang orang tak tahu kalau harus memberi hormat. Ada yang mengangkat tangan seperti orang Batang Lupar menabik. Ada yang membungkuk-bungkukkan badan seperti orang yang sedang rukuk karena ingin lebih hormat. Akan tetapi cara yang berlebih-lebihan tidak jarang pula menimbulkan marah kempetai itu. Yang bersalah lalu dipanggil di bawah mata orang banyak dan beruntung kalau hanya dibentak-bentak. Si malang akan ditampar oleh tangan-tangan yang kasar itu. peristiwa penamparan di gudang itu dan juga di tengah jalan, oleh kempetai, itulah caranya memberikan cap tangan. Lalu dikatakan si anu dan si polan mendapat hadiah cap tangan. Dan hadiah itu membawa kenang-kenangan pahit.

Hormat terhadap tentara pendudukan menjadi berkurang. Kiranya indah kabar dari rupa. Dan yang mendatang sama buruknya dengan yang pergi. Hilang yang bertopi, datangnya yang berpayung. Dan rakyat, sekalipun baru pada hari-hari yang pertama, mulai sadar didorong kembali kepada kepribadiannya sendiri. Di muka Kantor Pos, di lapangan tenis yang berpagar kawat berduri, berjejal manusia dari segala golongan. Ada ulama, ada pegawai negeri, pedagang, ahli teknik atau tukang, pekerja kasar dan mungkin juga pencuri, tukang kapak di gudang Borsumy itu. bukan kemauan mereka sendiri berada di situ. Katakanlah itu kemauan Tuhan, akan tetapi karena Tuhan bersifat Rahman dan Rahim tak mungkinlah kiranya jatuh siksaan Nya yang seberat itu. karena di antara mereka ada yang merasa seujung jarumpun tidak bersalah. Apakah itu ganjaran dari tentara pendudukan, untuk sorak sorai yang mereka kumandangkan ketika mengelu-elukan kedatangan mereka? Atau adakah yang bersalah dalam tegur dan sapa? Entahlah … yang jelas adalah bahwa mereka dijemur di situ, dalam panas terik yang memecah ubun-ubun, dihalau dan dikumpulkan seperti gembala menghalau ternaknya. Istilah baru muncul lagi: dijemur. Dan peperangan Asia Timur Raya memang banyak melahirkan istilah-istilah baru. Dalam panas yang seterik itu lebih tepat kalau dikatakan mereka seolah-olah dikelantang karena sekali-sekali air yang sejuk disimburkan ke muka mereka. Dalam keadaan yang demikian percikan air terasa sebagai rahmat juga untuk kerongkongan yang gersang karena dahaga.

Jepang, katanya, mencari Oranda. Jadi mereka dikumpulkan di situ. Seperti mencari seluang di sungai. Tebarkan jala dan tangkap semua ikan yang terjala. Kemudian pilih satu-satu. Ambil seluangnya dan lepaskan ikan-ikan yang lain. jadi mereka kini turun setingkat: dari ternak menjadi ikan seluang yang tidak berdaya. Berkenaan dengan sesuatu kekuatan yang besar itu, amsal itu adalah yang setepat-tepatnya. Di antara kelompok itu beberapa orang guru agama menghabiskan persediaan doanya dengan memanjatkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang lain turut menadahkan tangan. Dan dalam saat-saat yang sulit menekan jiwa, kembali kepada Tuhan adalah jalan satu-satunya.

Entah karena doa yang kabul, entar karena memang sudah direncanakan, entah karena kedua-duanya, Jepang datang membuka pintu pagar kawat itu. jam menunjukkan pukul lima petang hari. Semua mata memandang kepadanya. Apakah itu Jepang atau bayang-bayang yang menyerupai? Dalam keadaan yang tiba-tiba orang memang mudah terkejut untuk beberapa saat. Apalagi kalau pikiran sedang mengarah ke jurusan lain. tak salah lagi. Dan yang ada di hadapan mereka itu adalah benar heitaisan dalam segenap batang tubuhnya. Oranda yang dicari tidak dapat untuk menambah jumlah tawanan di kamp Then Seng Hie. Ada tertangkap dua tiga orang Belanda hitam, artinya orang Indonesia yang kebelanda-belandaan. Jepang rupanya belum memerlukan mereka dan dilepaskan. Ada juga pedagang-pedagang di antara tawanan. Untuk keselamatan jiwa mengaku jadi orang tani. Dan Jepang memang memerlukan petani-petani, bukan tauke-tauke. Produksi harus jalan terus, sebab kini mereka yang bertanggung jawab. Boleh pulang dan diperintahkan cocok tanam. Jadi sebagian besar dari tawanan itu adalah tenaga-tenaga produktif atau sekurang-kurangnya mengaku demikian. Tenaga-tenanga yang begitu memang diperlukan untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Bekerja, bukan bicara-bicara, apalagi menggerutu.

Pada suatu hari rakyat melihat suatu peristiwa yang menyeramkan bulu roma. Seorang tawanan lari dari kamp Then Seng Hie. Ia tentu seorang Belanda. Perlakuan yang dialaminya menjadi sebab untuk suatu usaha pelarian yang disangkanya lebih baik dari pada mati dalam siksaan. Demikian ia mengambil keputusan untuk melakukan usaha yang nekad itu. Ketahuan, dan mendapatkan seorang Belanda di tengah-tengah orang Indonesia dan Cina bukanlah seperti mencari sepucuk jarum yang hilang. Ia digiring kembali masuk kamp setelah mengalami lecut dan tampar. Rakyat melihatnya dengan penuh rasa kasihan seolah-olah azab itu tiba di badannya sendiri. Lupa yang dulu-dulu betapa mereka menderita sewaktu menjadi anak jajahan. Setiba di kamp kembali seorang anggota tentara Jepang telah menanti dengan pedang terhunus. Ia digiring ke tepi sungai, disuruh berlutut dengan leher terkulai. Sehelai kain putih bersih menutuo mukanya. Dan sebelum ia sempat menyelesaikan doanya, kepala si korban telah bercerai dari badannya, sama cepatnya dengan kilat pedagng samurai di panas terik itu. para penonton orang Islam menutup mukanya sambil mengucap Subhanallah …

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar