Jumat, 13 April 2012

MALAPETAKA KALBAR DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG 1941-1945

MALAPETAKA KALBAR DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG 1941-1945

Catatan Dokumenter Syafaruddin Usman MHD

Duduk soal yang sebenarnya adalah serangan udara Jepang atas Kota Pontianak tanggal 19 Desember 1941, hari Jumat sekitar jam 12.00. Pada tanggal 20 hingga 22 berikutnya serangan itu terjadi lagi di tempat-tempat lain di Kalimantan Barat: Singkawang, Sanggau Ledo, Mempawah, untuk hanya menyebutkan beberapa tempat. Di antara serangan-serangan udara itu, serangan pada hari pertamalah [19 Desember 1941] yang paling banyak meminta korban. Dari situlah sebenarnya kisah harus dimulai. Akan tetapi bukan itu saja.

Pusat tumpuan dari sejarah pendudukan Jepang di daerah Kalimantan Barat adalah peristiwa pembunuhan besar-besaran pada pertengahan tahun 1944, karena sebagian besar kegiatan fisik dan non-fisik yang mengisi periode pendudukan Jepang itu bertumpu kepada, dan bersangkutpaut dengan peristiwa pembunuhan massal itu, baik proloog maupun epiloognya, baik langsung maupun tak langsung. Oleh karena itu, dalam pengungkapan sejarah periode ini, peristiwa pembunuhan yang barangkali tiada duanya terjadi di tanah air itu, perlu diungkapkan dalam bentuknya yang utuh, lengkap dan benar. Fakta adanya pembunuhan massal itu sendiri tidaklah perlu kepada data pembuktian lagi. Peristiwa itu memang benar-benar terjadi. Dia bisa dibaca dalam surat kabar lokal Borneo Simbun yang terbit di Pontianak tanggal 1 Juli 1944, dia bisa ditanya kepada keluarga para korban dan masyarakat umum yang masih hidup, dan dia bisa dilihat dan diraba di pekuburan massal di Mandor.

Akan tetapi data dan pembuktian tentang sebab musebabnya, hamir tiada, sebab dia berkubur bersama beribu-ribu para korban perang yang sudah lebih dulu meninggalkan, dan dia hilang bersama lenyapnya orang-orang Jepang yang melakukannya. Satu hal yang jelas dalam masalah ini, ialah bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal, bahwa Jepang melakukan pembunuhan massal itu tanpa alasan dan tanpa motif sama sekali, seolah-olah mereka membunuh asal membunuh saja, apalagi bila yang dibunuh bukan sepuluh duapuluh orang, melainkan ribuan orang.

Apabila ada pendapat yang meyakini, bahwa tidak ada komplotan untuk memberontak, seakan-akan komplotan pemberontak, seperti yang diungkapkan dalam surat kabar Borneo Simbun tanggal 1 Juli 1944 itu, hanya isapan jempol Jepang belaka, maka pendapat ini pasti tidak dapat menunjukkan bukti apapun tentang kebenarannya, sebab pada satu pihak tidak ada pengakuan Jepang sendiri yang menyatakan tidak adanya komplotan untuk memberontak, ataupun pengakuan Jepang tentang motif tindakan mereka yang mereka sembunyikan, sedangkan di pihak lain tidak ada pula seorang pun dari korban yang dibunuh oleh Jepang itu yang lolos dari hukuman dan memberikan keterangan tentang tidak adanya komplotan untuk memberontak. Karena itu dapat dikatakan, bahwa pendapat ini hanya berdasarkan kepadsa sangka-sangkaan saja, lebih dari itu tidak.

Yang menyebabkan Jepang melakukan tindakan pembunuhan massal di daerah Kalimantan Barat pada pertengahan tahun 1944 itu, ialah lantaran adanya gerakan ataupun komplotan untuk memberontak melawan Jepang, yang rencananya keburu diketahui dan segera ditumpas oleh penguasa perang Jepang. Komplotan pemberontak ini terdiri dari para pemimpin pergerakan dari golongan nasionalis dan Islam, antara lain Parindra dan Muhammadiyah, serta peimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka masyarakat lainnya secara perorangan [non-organisasi], kesemuanya dari kalangan yang bercita-cita kemerdekaan.

Yang menjadi penyebab dari gerakan atau komplotan pemberontak itu, ialah penindasan yang melewati batas dengan segala akibatnya dari penguasa perang Jepang di daerah Kalimantan Barat, yang mendorong dan memaksa pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan untuk melawan, penindasan mana tidak terjadi di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia seberat yang terjadi di daerah Kalimantan Barat, sehingga di daerah-daerah lain tidak terjadi pembunuhan massal seperti halnya terjadi di daerah Kalimantan Barat, dan bukannya lantaran kaum pergerakan kemerdekaan di Kalimantan Barat lebih unggul jiwa nasionalismenya daripada di daerah-daerah lain.

Adapun landasan yang menjiwai serta motif daripada gerakan atau komplotan pemberontakan di pihak kaum pergerakan kemerdekaan yang ditumpas oleh Jepang itu tidaklah lain daripada cita-cita kemerdekaan bangsa. Dan inilah titik sentral dari seluruh peristiwa sejarah pembunuhan massal di daerah Kalimantan Barat itu. dalam pembunuhan massal itu dibunuh juga raja-raja dari duabelas kerajaan di Kalimantan Barat, yang merupakan golongan tersendiri, yang lebih dekat dan dapat diafiliasikan kepada golongan nasionalis dan Islam yang pro-kemerdekaan. Dalam pembunuhan massal itu turut pula terbunuh dalam penumpasan sekali sapu para pemuka dari golongan lain, yang tidak termasuk dalam golongan yang pro-kemerdekaan, tapi merupakan musuh juga bagi Jepang. Dalam pembunuhan massal itu dibunuh pula mereka dari golongan menengah, yang dianggap oleh Jepang sebagai satu lapisan masyarakat yang menjadi pengikut dan pendukung dari para pemimpin rakyat lapisan atas.

Orang mengatakan, bahwa setiap peperangan adalah suatu pernyataan keinginan dan ambisi politik dalam bentuk yang paling kasar. Kiranya begitulah sejak dahulu sampai sekarang. Serangan Jepang itu yang dalam waktu singkat disusul dengan penjajahannya atas Indonesia, digambarkan sebagai salah satu dari padanya. Langit yang cerah di pagi itu, 19 Desember 1941, bukannya tidak mengandung bahaya. ia membawa pertanda kemalangan bagi korban-korban yang merintih kesakitan, ibu-ibu yang kehilangan suami dan anaknya.

Seluruh kota meratap karena kehilangan segalanya. Ketakutan dan panik meliputi seluruh kota. Melayang-layang di atas kota dalam suatu formasi seakan-akan sekumpulan elang yang terbang kadang-kadang meninggi, kadang-kadang menghunjam tajam karena melihat anak ayam di bawahnya, pilot-pilot pesawat terbang itu akan tersenyum-senyum jika mereka mendengar bahwa seorang secara tidak disadari, mengira, bahwa itu adalah pesawat-pesawat terbang yang sedang mengadakan latihan. Yakin akan perkataan para pemimpin militer Hindia Belanda bahwa Indie tetap waspada, paraat, compact, intact, menghadapi setiap kemungkinan perang dengan Kerajaan Jepang. Anak-anak sekolah Kampung Bali menyaksikan latihan itu, bukanlah salahnya anak-anak kalau mereka itu percaya sungguh-sungguh bahwa itu adalah latihan. Manakah pemberitahuan dari petugas-petugas keamanan. Namun demikian pemerintah Hindia Belanda tetap berkata Wij zijn volkomen intact [Kita sepenuhnya bersatu padu].

Ketika bom-bom meletus dan senapan mesin berbicara dengan bahasanya sendiri seperti bertih digoreng, barulah orang tahu duduk persoalan. Kiranya pesawat-pesawat Jepang. Sinar matahari membuat tanda-tanda pada tubuh dan ekor pesawat-pesawat itu menjadi lebih jelas: Hinomaru, Nippon no hatta, dan di belakang hari akan menjadi: Asia no hatta, bendera Asia. Seluruh kota jadi gempar. Asap hitam mengepul di udara, membuat cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Beberapa rumah terbakar hangus. Bunyi pesawat terbang dan senapan mesin memecahkan anak telinga. Suara alat pembunuh yang rancap itu, senapan mesin, diselingi bunyi bom di sana-sini. Tanah-tanah terbang, terbongkar. Orang-orang mencari perlindungan di parit-parit. Parit sedang mulai pasang.

Mayat-mayat tindih bertindih. Ada yang terlempar, bercerai tangan dari badannya. Darah mengalir menyiram aspal dan membuat rumput-rumput beralih warna. Di sana-sini tali usus berserakan, dari perut-perut yang tidak berdosa. Tidak tahu lag ke mana usus itu harus dimasukkan sebab badannya terbang entah ke mana. Sasaran sedianya mungkin ditujukan ke tangsi militer dalam daerah Kampung Bali. Dan sekitar gereja Katholik. Tetapi dalam kecepatan terbang, peluru menyasar ke sana-sini. Pelurupun tidak bermata. Kenapa anak-anak sekolah yang jadi sasaran. Tetapi ada juga tauke-tauke dan nyona-nyonya kaya jadi korban. Tangan-tangan terlipat, putus. Leher bercerai dari badannya. Di leher masih melingkar kalung berharga. Gelang dan cincin masih melekat di pergelangan tangan dan di jari-jari halus. Pesawat-pesawat itu rupanya tidak memberi kesempatan kepada para korban untuk menanggalkan barang-barang perhiasan yang berharga itu lebih dahulu, meletakkan di tempatnya, untuk baru mati demi kepentingan Asia Raya. Tetapi mungkin mereka pun mengira tadinya, bahwa orang sedang berlatih, seperti perkiraan anak-anak yang malang itu juga. Kiranya jadi sungguh-sungguh. Mereka mati dalam ketidaktahuan dan berbaik sangka.

Kejadian itu seolah-olah bagaikan petir yang menggelegar di siang benderang. Orang terkejut dan tergamam, tidak tahu apa sebanrnya yang telah terjadi, dan apa yang harus diperbuat. Bom-bom yang dijatuhkan itu mungkin tidak banyak menurut ukuran Jepang, tapi dia menyebarkan maut yang cukup banyak. Anak-anak sekolah dari Broederschool Kampung Bali, umpamanya, tertimpa bom begitu tiba-tiba sedang mereka belajar, sehingga sebagian besar meninggal dunia seketika, sedangkan lain-lainnya luka-luka berat. Demikian pula dengan klinik yang berada dekat sekolah tersebut. Bom-bom Jepang disertai tembakan-tembakan mitrallieur menghujani banyak tempat, seperti sekitar Parit Besar, Kampung Melayu, pabrik Hemmes, Sungai Durian, dan lain-lain. Tetapi yang gencar sekali ialah tembakan mitrallieur luar rumah yang dimuntahkan dari pesawat-pesawat terbang Jepang, yang terbang rendah, secara membabi-buta terhadap penduduk Pontianak yang berlari-lari simpang-siur kian kemari untuk menyelamatkan diri.

Serangan konon menjurus dari Gang Masrono dan dari situ pesawat terbang telah mulai memuntahkan pelurunya ke arah sasaran di hadapannya sekitar Sekolah Mulo RK dan Kampung Bali. Kemudian penyebar maut itu berputar-putar ke segala penjuru angin. Ada seorang Jepang, tukang gambar, tinggal di Gang Masrono itu, namanya Honda. Selain dari tukang gambar, ia pun penjual bunga. Banyak orang memesan karangan bunga kepadanya. Kalau ada pesta kawin atau upacara mati, ke mana pergi kalau tidak ke Honda. Diceritakan pula, bahwa ia seorang opsir tentara Jepang. Kalau benar, maka ia adalah seorang penyamar, tentara menyamar jadi pedagang. Seperti yang lain-lain juga, katanya, ia pun adalah mata-mata. Pekerjaan membuat gambar dan merangkai bunga bukanlah pekerjaannya yang pokok. Tugasnya, katanya lagi, mempunyai tujuan yang lebih jauh lagi, dari sekedar mengambil gambar dan menjual bunga. Dimulai dengan mengambil gambar bayi-bayi dan nona-nona, gambar para pembesarpun terambil juga. Yaitu pembesar-pembesar yang bertanggung jawab, baik sipil, maupun militer, sampai ke gambar-gambar segenap kota dan pelosok yang penting artinya dari segi militer. Dan semuanya dikirim ke Tokio.

Konon dia ini, seperti orang-orang Jepang yang lain juga dan orang-orang berkebangsaan Jerman, diperintahkan meninggalkan Kota Pontianak, pada pertengahan kedua tahun 1941. Jadi tidak berapa lama antaranya dengan hari yang naas itu, ketika Pontianak diserang. Lama lagi waktunya sebelum ia meninggalkan rumahnya, pohon-pohon kelapa di sekitar rumahnya digunduli. Pucucknya dipancung supaya nyata kelihatan dari udara. Entah benar entah tidak, itu adalah petunjuk, katanya. Dan, apakah ini kebetulan atau sungguh-sungguh, kapal-kapal terbang itu mulanya memang berputar-putar di sekitarnya. Dari situ memuntahkan pelurunya ke segala arah.

Tercatatlah dalam sejarah Perang Dunia II di Kalimantan Barat, kota Pontianak diserang oleh sembilan pesawat udara Jepang pada tanggal 19 Desember 1941, dengan melakukan pemboman dan penembakan militerallieur, yang dikenal oleh masyarakat Kalimantan Barat sebagai peristiwa Bom Sembilan. Serangan ini diulangi lagi beberapa hari sesudah itu, termasuk serangan terhadap Sanggau Ledo, tidak terduga sama sekali, sebab sampai saat itu belum ada kabar yang memberitakan telah terjadi serangan atas kota atau tempat lain di manapun di seluruh Indonesia [Hindia Belanda].

Kalau ini benar, maka tercatatlah dalam sejarah, bahwa kota Pontianak mendapat kehormatan menjadi tempat yang pertama-tama digempur oleh tentara Jepang di seluruh wilayah Hindia Belanda pada waktu itu. Seolah-olah Pontianak-lah kota garis depang yang terpenting di seluruh Indonesia. rakyat Pontianak khususnya dan Kalimantan Barat umumnya, yang pada penghujung zaman malaise mengalami zaman kupon yang agak cerah itu, tidak pernah mengalami peperangan satu kalipun seumur hidupnya dan tidak dapat membayangkan suatu peperangan modern yang sesungguhnya, tidak bisa tidak peristiwa itu merupakan suatu malapetaka yang dahsyat, yang melebihi sangka-sangkanya. Rakyat Kalimantan Barat dikejutkan oleh suatu peristiwa yang sukar dibayangkan, dan karena itu menggoncangkan hati dan pikirannya.

Kapal-kapal terbang segera menghilang ketika semua sasaran sempurna binasa. Pesawat-pesawat maut itu meninggalkan di belakangnya selain dari puing-puing, mayat-mayat yang berkeping-keping tak tentu rupa. Ada di antara para korban itu yang masih mereang-regang. Beberapa di antaranya mengerang-erang kesakitan menjelang ajalnya. Dan, seperti juga datangnya, pulangnya pesawat-pesawat itu tidak pula memberi tahu. Tugasnya hanya untuk membinasakan dan membuat panik. Kalau timbul korban maka itu adalah urusan orang-orang yang tinggal. Segera kelihatan topi-topi waja yang coreng moreng dengan tulisan LBD [Lucht Beschermings Dienst]. Mereka terbagi dalam regu-regu penolong. Komandannya berteriak-teriak lantang memberi komando kanan dan kiri. Kini tidak mengapa gagah-gagahan karena bahaya sudah berlalu. Di antaranya ada tentara milisi yang terdiri dari pegawai negeri dan orang-orang preman. Penolong-penolong sukarela pun ada dan … tukang-tukang copet. Tangan-tangan jahil selalu ada saja sepanjang masa dan dalam segala keadaan. Pada lahirnya hendak menolong korban-korban baru: permata diulus satu demi satu, demikian juga kalung dan gelang serta cincin permata, dari bagian-bagian anggota badan yang tidak lagi berdaya dan … masuk saku. Mayat-mayat itu tidak keberatan sebab tidak pandai lagi berkata!

Kendaraan truk dan ambulan belum banyak ketika itu. dalam keadaan mendesak mayat-mayat diangkut dengan usungan. Diperlukan beberapa hari lamanya untuk membersihkan segala-galanya. Yang luka parah dan enteng segera diangkut ke rumah sakit untuk dirawat. Udara mulai membusuk karena potongan-potongan daging dan anggota badan yang tertinggal. Bau masam bercampur dengan bau mesiu. Ada ibu-ibu yang merintih mencari-cari anaknya di antara mayat-mayat. Bumi dipijak serasa terbang. Ayah dan suami-suami begitu pula. Seorang ibu separuh umur menangis meratapi sesuatu yang ada di hadapannya: sebuah benda yang menyerupai kepala manusia. Dicari-cari badan dan tangan yang kira-kira sesuai, di antara mayat-mayat yang berserakan, serupa memasang onderdil mobil. Sejurus terdengar bunyi raung kesedihan. Ia memekik meminta tolong, selain dari memohon kepada Tuhan. Seperti juga dilakukan oleh setiap orang dalam keadaan yang demikian, baik ia seorang beriman atau tidak. Mayat diangkut dengan usugan, diratapi dan terus dikubur.

Pekerjaan mengangkut mayat-mayat itu tidak semudah seperti mengangkut kayu api: disusun-susun lalu diangkut. Mayat-mayat itu ada yang sukar dikenal rupanya karena cacat-cacat yang dideritanya. Sudah itu perlu dicari dan ditanyakan dahulu siapa waris. Para waris datang, serah menyerah. Dan dicari lagi mayat-mayat yang terlempar di tempat lain, entah di tanah lapang atau di parit. Sebanyak itu korban, sebanyak itu pulalah doa-doa yang berkumandang memenuhi angkasa raya. Semoga Tuhan memberi tempat yang lapang kepada arwah para korban.

Orang banyak yang panik dan keluar dari rumah lantaran takut kena bom, di luar rumah disambut dengan tembakan mitrallieur yang gencar. Darah, isi perut, dan isi kepala berceceran di jalan-jalan, mayat-mayat bergelimpangan. Kawat listrik dan telepon penuh dengan bagian-bagian badan manusia yang bergelantungan bagaikan jemuran pakaian. Mayat-mayat yang masih utuh, setengah utuh, dan yang sudah hancur diangkut berlonggok-longgok bertruk-truk banyaknya. Bau daging manusia yang terbakar menghamburkan bau yang menyesakkan napas dan menyengat hidung berhari-hari lamanya. Entah berapa banyak penduduk kota yang mati terbunuh, laki-laki dan wanita, tua dan muda, tidaklah diketahui dengan pasti. Orangpun tidak sempat menghitungnya, dan juga tidak dapat menghitungnya, lantaran banyaknya dan lantaran bagian-bagian badan sudah bercerao berai, tidak dapat dikenal lagi. Namun bagaimanapun sukarlah untuk menyebut bilangan ratusan saja. sebab rumah sakit Sungai Jawi penuh seak dengan mayat dan dengan pasien yang luka dan cedera, sehingga terpaksa harus memakai tempat-tempat penampungan lain, seperti gudang dan gedung bioskop. Lima orang dokter didatangkan dari Batavia.

Pendek kata, kepanikan dan ketegangan yang besar menyerang penduduk Kota Pontianak tidak alang kepalang. Kecemasan dan ketakutan mencekam jauh ke ulu hati. Orang hidup dalam mimpi buruk yang menyeramkan, dan maut serasa mengambang di atas kota. Keluarga-keluarga yang tertimpa musibah, seolah-olah tidak sempat berdukanestapa, sebab nasib sendiripun tidak terjamin. Entah esok, entah lusa, setiap saat serangan-serangan yang mendadak itu bisa saja terjadi lagi. Tak seorangpun tahu yang bakal terjadi. Pemerintah Belanda-pun seperti kehilangan akal. Dan penduduk menyaksikan sendiri, betapa tidak berdayanya Knil dalam pertahanannya. Tak ada tempat untuk mengadu dan tak ada tempat untuk bergantung. Pada saat itulah penduduk yang awam menyadari tiadanya daya, melainkan terserah bulat-bulat kepada nasib yang tidak menentu. Inilah suatu tragedi daripada nasib rakyat yang terjajah.

Satu-satunya tempat bergantung hanyalah Allah Swt semata-mata, dan satu-satunya tindakan yang teringat ialah mengungsi meninggalkan kota Pontianak. Dan menjadi lenganglah kota Pontianak ditinggalkan oleh banyak penduduk, baik pegawai negeri maupun penduduk sipil. Demikianlah selayang pandang ilustrasi daripada suasana fisik dan alam pikiran serta alam perasaan dari penduduk yang awam. Adapun orang-orang Indonesia yang sudah mengerti akan arti perjuangan bangsa, mereka juga panik, mereka juga takut mati konyol terkena bom dan peluru nyasar, namun di dalam hati, mereka mentertawakan si penjajah Belanda, dan berdegap-degup hatinya menantikan kedatangan balatentara Dai Nippon, yang akan melepaskan tanah air yang tercinta ini dari belenggu penjajahan Belanda ratusan tahun. Dan peristiwa bom sembilan itu baru permulaannya saja. di antara mereka banyak juga yang mengungsi ke luar kota, tetapi membuat pengungsian itu menjadi semacam week-end saja.

Suatu serangan udara dalam perang zaman mutakhir kiranya adalah permulaan dari pendaratan-pendaratan. Seperti orang merambah hutan, semak-semak, kayu-kayu, tunggul-tunggul perlu ditebas, ditebang dan diratakan lebih dahulu. Begitu pula halnya serangan atas Balikpapan, Miri, Kuching, Brunai, Tarakan, Kotawaringin dan lain-lain. sesudah itu baru mendarat. Penduduk Pontianak mengetahui hal itu. bahwa antara penyerangan dan pendaratan masih diperlukan beberapa waktu lagi oleh Jepang untuk mengatur persiapan, orang pun tahu. Tetapi bahwa pendaratan akan terjadi entah esok antah lusa, adalah suatu hal yang pasti. Jadi hanya soal waktu. Bukan renungan dan bukan khayalan tetapi sesuatu perkiraa yang didasarkan pada kemajuan-kemajuan tentara Jepang di tempat-tempat lain di Asia. Kemungkinan itulah yang meliputi pikiran penduduk. Khawatir, cemas, dirasakan setiap orang.

Perubahan yang tiba-tiba dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain berlaku secepat kilat. Mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya, sebaik dan sejauh mungkin. Tetapi sesuatu yang dipaksakan dengan tiba-tiba tanpa persiapan moral dan mental lebih dahulu, memperlihatkan juga segi-segi yang kurang wajar, janggal. Mereka kini ingin ramah tamah dan bersahabat dengan rakyat, tetapi sifat dipertuannya belum juga mau hilang. Antara yang lampau dan yang kini masih melebar satu jarak yang belum terlangkahi, setidak-tidaknya dalam cara berpikir mereka. Ada perbedaan dalam tanggapan terhadap peperangan. Dan begitu juga dalam kedudukan sosial, untuk tidak berkata tentang ras dan kebangsaan. Merekalah, Belanda, yang berperang dengan Jepang, bukan bangsa Indonesia. bagi Jepang mereka adalah musuh. Dan musuh harus diperangi atau ditawan. Rakyat Indonesia tidak akan diperangi, kata Jepang, tetapi akan dibebaskan dari belenggu kolonialisme. Katanya pula, rakyat Indonesia tidak akan kehilangan sesuatu apa pun dalam peperangan ini, kecuali belenggu itu. dan sebagian rakyat mempercayainya.

Kadang-kadang orang-orang Belanda lewat. Melihat orang yang bercocok tanam, omong-omong, ramah. Sebagian ada yang sudah berangkat ke Jawa, dengan pesawat terbang. Jadi ke Jawa juga. Yang tinggal menunggu giliran, entah ke mana akan diangkut. Hanya militer yang bertahan, memasang stelling. Rakyat menerima dengan baik, seperti biasanya rakyat Indonesia, ramah, hormat kepada tamu. Pegawai-pegawai pemerintah dapat gaji untuk 6 bulan. Pemerintahan sepenuhnya ada di tangan militer. Ada di antaranya yang berpikir: sesudah lewat 6 bulan apa lagi yang akan dimakan. Siapa menggaji. Kalau sementara itu Jepang datang, apakah mereka akan mau membayar gaji. Kalau tidak akan ditempeleng atau dijemur. Apa yang akan dijamah. Apa yang akan dimulai. Baik kalau perang lekas selesai, kalau lama. Ada di antara pegawai-pegawai itu yang mulai berpikir-pikir untuk meraih-raih, berdagang kecil, atau mencatut.

Orang-orang Belanda, pimpinan pemerintahan sipil, bersiap-siap untuk mundur ke pehuluan Melawi, Tanah Pinoh, Kotabaru. Terjadi arus yang deras dari mereka yang mundur itu. karena derasnya arus itu, mereka lebih tepat dikatakan lari. Lari … sampai tangan Jepang tidak dapat menjangkau lagi. Dari Kotabaru akan diatur pertahanan dan perlawanan, katanya. Dan kalau terpaksa, lari ke Banjarmasin! Pertama-tama Kotabaru sebagai garis belakang dan Bengkayang atau Ledo sebagai garis depan. Begitulah menurut rencana. Kantor-kantor pemerintahan dapat dikatakan kosong, tidak ada pimpinan yang bertanggung jawab lagi. Tinggallah orang kedua dan ketiga. Mereka ini orang-orang Indonesia. ada seorang kepala kantor yang tinggal, tidak mengungsi. Dia ini orang Indonesia, sampai ke tulang belulang. Untuk sementara pimpinan berada dalam tangannya. Orang-orang bertanya kepadanya mengapa tidak mengungsi. Berbeda dengan kaum nasionalis Indonesia lainnya, ia menjawab Ik ben de enigste Europeaan die achterblift [saya satu-satunya orang Eropa yang tinggal]. Orang-orang itu melihat kepadanya dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Dia membalas pandangan itu dengan bangga …

Pada 19 Junigatsu 2601 (19 Desember 19410 kota Pontianak diserang 9 pesawat pembom Jepang. Masyarakat mulai hidup dalam ketidakberanian atas peperangan. Maka kemudian, 28 Ichigatsu 2602 (28 Januari 1942) politik bumihangus dilakukan. Kemudian, 29 Ichigatsu 2602 balatentara Dai Nippon mulai memasuki dan menduduki Kota Pontianak. Sejak hari itu pula sistem pemerintahan dikendalikan balatentara Dai Nippon. Sejak 29 Ichigatsu 2602 (29 Januari 1942), pmerintahan Kalimantan (Borneo) Barat dikendalikan Gunseibu, untuk seterusnya dilanjutkan atau digantikan Minseibu. Pada 20 Jugatsu 2602 bertempat di Gedung Kaigun Kaigisjo Pontianak dilangsungkan rapat pemerintahan Borneo Barat. Balatentara Jepang mendarat pertamakali di Kalimantan Barat, mulai dari Pemangkat 26 Ichigatsu 2602. Dua hari kemudian, 28 Ichigatsu 2602, pasukan ini bergerak dan menduduki Pontianak, seterusnya menduduki Singkawang, Mempawah dan sekitarnya.

Itulah kisah Peristiwa Bom Sembilan. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya, bila peristiwa bom sembilan yang melanda kota Pontianak itu, tidak dilupakan begitu saja, ataupun dianggap sebagai peristiwa yang biasa-biasa saja, melainkan dibuatkan tanda peringatannya di tengah-tengah kota Pontianak, dan dicatat dalam sejarah sebagai peristiwa: pengorbanan rakyat Kalimantan Barat di garis terdepan Ibu Pertiwi, awal keruntuhan penjajahan Belanda, dan awal pula dari zaman yang baru sama sekali buat bangsa Indonesia.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar